Apa yang sebenarnya kulakukan di
sini? Tanya batinku yang menyadarkanku akan keberadaanku
kini.
“Apa
yang kau lakukan di sini.” Kata sebuah suara penasaran di belakangku. Aku
menoleh dan bertatap muka dengan seorang gadis kecil bermata besar. Dia menatapku
dengan sorot tak terbaca.
Aku
mengedikkan bahu kiriku sebagai jawabannya, kemudian kualihkan pandangan
darinya. Kutundukkan wajahku untuk memastikan bahwa aku masih berpijak pada
daratan. Kunaikkan pandangan perlahan menatap garis batas antara cakrawala dan
lautan. Setelah hening beberapa saat akhirnya aku pun menjawab dengan kalimat,
“aku sendiri pun tak tahu.”
Kali
ini, aku mendengar langkah-langkah kecil berkelotak pada kerikil dan mendekat
padaku. Aku menoleh kembali, mendapati gadis kecil itu telah berada di sisi
kiriku, tingginya tak lebih dari sikuku, mata besarnya fokus menatap wajahku.
Tatapannya membuatku resah, aku berdiri tak nyaman menatap ke kedalaman mata
besarnya. Apa yang kau pikirkan
tentangku, gadis kecil? Semakin lama gadis kecil itu menatapku tanpa
berkata-kata, semakin dalam pula kerutan diantara alisku.
Aku
tak tahan dengan eksplorasi heningnya. Ketika aku mau memprotesnya, gadis kecil
itu bertanya dengan lugasnya. “Apakah kau mau membunuh dirimu sendiri di tempat
ini.”
Pernyataannya
membuat mulutku – yang tadinya terbuka untuk menyuarakan protesku – menutup dan
membuka beberapa kali. Ada beberapa jawaban yang terbersit di pikiranku,
diantaranya adalah jawaban kasar kalau itu bukan urusannya. Tapi aku memilih
untuk memikirkannya.
“Kau
berdiri di pinggir tebing yang paling curam, kau bahkan telah melompati pagar
pembatas dan berdiri dengan bodohnya ditepian tebing. Kau berada di ambang
batas kematian kalau boleh aku sebutkan, tapi kau hanya diam saja disini sejak
tadi aku perhatikan. Apa yang kau tunggu.” Wajahnya datar tanpa ekspresi,
suaranya stabil tanpa emosi, aku tak tahu apa yang dia lihat dariku dari kedua
mata besarnya.
Fakta-fakta
yang dijabarkan oleh gadis kecil itu entah kenapa membuatku merasakan serbuan
perasaan malu. Keangkuhanku sebagai orang yang lebih tua darinya, pupus bersama
kesadaran bahwa aku pun tak tahu apa yang saat ini sedang kulakukan. Aku
mengalihkan pandangan dari matanya yang makin membesar, mungkin dia sedang
berusaha membaca amukan kata di pikiranku. Kembali kutatap batas antara langit
dan laut di kejauhan.
Debur
ombak secara konstan menghantam bebatuan di bawah tebing, membuatku berpaling
ke ujung jari kakiku. Bebatuan beragam bentuk terhampar di bawah sana, ada
sebagian yang meruncing terkikis massa air garam. Bayangan tubuh yang terjatuh
ke sana, tertancap ke salah satu batu yang meruncing, atau hancur sebelum mencapai
batu yang datar karena beberapa kali menumbuk bebatuan tebing yang tak rata,
kemudian disapu ombak menyatu dengan lautan, terpapar di benakku. Aku menatap
muram pada bebatuan di bawah.
Kuarahkan
kembali tatapanku ke batas cakrawala. Kini yang kudengar hanyalah debur ombak,
yang anehnya menentramkan. “Aku benar-benar tak tahu apa yang membuatku
melompati pagar,” dengan pelan aku mulai membuka suara.
“Aku
pun tak tahu kalau aku sedang menunggu,” Kurenungkan kembali kalimatnya ‘Apa
yang kau tunggu’. “Entahlah, mungkin aku menunggu angin kencang yang akan
mendorongku jatuh ke bawah. Atau mungkin aku menunggu seseorang datang
mempertanyakan tindakanku.” Seusai mengucapkannya, aku menoleh kembali ke
tempat tadinya anak kecil itu berdiri. Dia tidak ada disana.
Dengan
heran aku menoleh ke bawah. Tidak ada gelagat aneh di sana. Kemudian
kuhembuskan napasku dengan lega dan penuh syukur, aku bahkan tak sadar kalau
sedari tadi aku merasakan ketegangan. Kubawa kakiku menjauh dari bibir tebing,
kuedarkan pandanganku ke sepanjang daerah tebing, mencari sesosok gadis kecil.
Dia tak ada dimanapun.
Kulompati
pembatas pagar, dan aku berdiri berpegangan pada benda mati itu. Memohon
padanya agar aku tidak melompatinya kembali. Kali lain, aku ragu alam akan
berbaik hati padaku. Aku kembali berdiri menatap garis batas di kejauhan,
sambil mencengkram pembatasku sendiri. Walaupun aku sudah tidak berada di bibir
tebing, tapi aku masih ada di pinggirnya. Aku belum bisa bergerak dari sini,
belum mampu untuk menjauh. Sekali lagi aku menunggu, dengan sadar aku menunggu
waktu berlalu.