Selasa, 25 November 2014

Tepian









Apa yang sebenarnya kulakukan di sini? Tanya batinku yang menyadarkanku akan keberadaanku kini.
“Apa yang kau lakukan di sini.” Kata sebuah suara penasaran di belakangku. Aku menoleh dan bertatap muka dengan seorang gadis kecil bermata besar. Dia menatapku dengan sorot tak terbaca.
Aku mengedikkan bahu kiriku sebagai jawabannya, kemudian kualihkan pandangan darinya. Kutundukkan wajahku untuk memastikan bahwa aku masih berpijak pada daratan. Kunaikkan pandangan perlahan menatap garis batas antara cakrawala dan lautan. Setelah hening beberapa saat akhirnya aku pun menjawab dengan kalimat, “aku sendiri pun tak tahu.”
Kali ini, aku mendengar langkah-langkah kecil berkelotak pada kerikil dan mendekat padaku. Aku menoleh kembali, mendapati gadis kecil itu telah berada di sisi kiriku, tingginya tak lebih dari sikuku, mata besarnya fokus menatap wajahku. Tatapannya membuatku resah, aku berdiri tak nyaman menatap ke kedalaman mata besarnya. Apa yang kau pikirkan tentangku, gadis kecil? Semakin lama gadis kecil itu menatapku tanpa berkata-kata, semakin dalam pula kerutan diantara alisku.
Aku tak tahan dengan eksplorasi heningnya. Ketika aku mau memprotesnya, gadis kecil itu bertanya dengan lugasnya. “Apakah kau mau membunuh dirimu sendiri di tempat ini.”
Pernyataannya membuat mulutku – yang tadinya terbuka untuk menyuarakan protesku – menutup dan membuka beberapa kali. Ada beberapa jawaban yang terbersit di pikiranku, diantaranya adalah jawaban kasar kalau itu bukan urusannya. Tapi aku memilih untuk memikirkannya.
“Kau berdiri di pinggir tebing yang paling curam, kau bahkan telah melompati pagar pembatas dan berdiri dengan bodohnya ditepian tebing. Kau berada di ambang batas kematian kalau boleh aku sebutkan, tapi kau hanya diam saja disini sejak tadi aku perhatikan. Apa yang kau tunggu.” Wajahnya datar tanpa ekspresi, suaranya stabil tanpa emosi, aku tak tahu apa yang dia lihat dariku dari kedua mata besarnya.
Fakta-fakta yang dijabarkan oleh gadis kecil itu entah kenapa membuatku merasakan serbuan perasaan malu. Keangkuhanku sebagai orang yang lebih tua darinya, pupus bersama kesadaran bahwa aku pun tak tahu apa yang saat ini sedang kulakukan. Aku mengalihkan pandangan dari matanya yang makin membesar, mungkin dia sedang berusaha membaca amukan kata di pikiranku. Kembali kutatap batas antara langit dan laut di kejauhan.
Debur ombak secara konstan menghantam bebatuan di bawah tebing, membuatku berpaling ke ujung jari kakiku. Bebatuan beragam bentuk terhampar di bawah sana, ada sebagian yang meruncing terkikis massa air garam. Bayangan tubuh yang terjatuh ke sana, tertancap ke salah satu batu yang meruncing, atau hancur sebelum mencapai batu yang datar karena beberapa kali menumbuk bebatuan tebing yang tak rata, kemudian disapu ombak menyatu dengan lautan, terpapar di benakku. Aku menatap muram pada bebatuan di bawah.
Kuarahkan kembali tatapanku ke batas cakrawala. Kini yang kudengar hanyalah debur ombak, yang anehnya menentramkan. “Aku benar-benar tak tahu apa yang membuatku melompati pagar,” dengan pelan aku mulai membuka suara.
“Aku pun tak tahu kalau aku sedang menunggu,” Kurenungkan kembali kalimatnya ‘Apa yang kau tunggu’. “Entahlah, mungkin aku menunggu angin kencang yang akan mendorongku jatuh ke bawah. Atau mungkin aku menunggu seseorang datang mempertanyakan tindakanku.” Seusai mengucapkannya, aku menoleh kembali ke tempat tadinya anak kecil itu berdiri. Dia tidak ada disana.
Dengan heran aku menoleh ke bawah. Tidak ada gelagat aneh di sana. Kemudian kuhembuskan napasku dengan lega dan penuh syukur, aku bahkan tak sadar kalau sedari tadi aku merasakan ketegangan. Kubawa kakiku menjauh dari bibir tebing, kuedarkan pandanganku ke sepanjang daerah tebing, mencari sesosok gadis kecil. Dia tak ada dimanapun.
Kulompati pembatas pagar, dan aku berdiri berpegangan pada benda mati itu. Memohon padanya agar aku tidak melompatinya kembali. Kali lain, aku ragu alam akan berbaik hati padaku. Aku kembali berdiri menatap garis batas di kejauhan, sambil mencengkram pembatasku sendiri. Walaupun aku sudah tidak berada di bibir tebing, tapi aku masih ada di pinggirnya. Aku belum bisa bergerak dari sini, belum mampu untuk menjauh. Sekali lagi aku menunggu, dengan sadar aku menunggu waktu berlalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar