Selasa, 30 Desember 2014

Malam





Malam datang membawakanku duka
Aku pun menerimanya dengan lapang dada
Walau sesungguhnya hati ini tak rela
Namun apa daya aku tak kuasa melawannya

Malam datang menjadikanku nestapa
Tak menghalangi tumpahnya air mata
Lubang itupun kembali menganga
Meninggalkan ruang hampa

Malam datang untuk apa?
Pergilah saja kalau hanya membawa luka
Malam datang untuk apa?
Sudahlah, datang saja, aku tak akan apa-apa

Ya, aku tak akan apa-apa
Selama malam masih menawarkanku perlindungan
Ya, aku akan baik-baik saja
Selama malam masih membawaku ke peraduan

Walau sesungguhnya aku lara
Malam masih dapat membuatku lupa akan sengsara



Selasa, 25 November 2014

Tepian









Apa yang sebenarnya kulakukan di sini? Tanya batinku yang menyadarkanku akan keberadaanku kini.
“Apa yang kau lakukan di sini.” Kata sebuah suara penasaran di belakangku. Aku menoleh dan bertatap muka dengan seorang gadis kecil bermata besar. Dia menatapku dengan sorot tak terbaca.
Aku mengedikkan bahu kiriku sebagai jawabannya, kemudian kualihkan pandangan darinya. Kutundukkan wajahku untuk memastikan bahwa aku masih berpijak pada daratan. Kunaikkan pandangan perlahan menatap garis batas antara cakrawala dan lautan. Setelah hening beberapa saat akhirnya aku pun menjawab dengan kalimat, “aku sendiri pun tak tahu.”
Kali ini, aku mendengar langkah-langkah kecil berkelotak pada kerikil dan mendekat padaku. Aku menoleh kembali, mendapati gadis kecil itu telah berada di sisi kiriku, tingginya tak lebih dari sikuku, mata besarnya fokus menatap wajahku. Tatapannya membuatku resah, aku berdiri tak nyaman menatap ke kedalaman mata besarnya. Apa yang kau pikirkan tentangku, gadis kecil? Semakin lama gadis kecil itu menatapku tanpa berkata-kata, semakin dalam pula kerutan diantara alisku.
Aku tak tahan dengan eksplorasi heningnya. Ketika aku mau memprotesnya, gadis kecil itu bertanya dengan lugasnya. “Apakah kau mau membunuh dirimu sendiri di tempat ini.”
Pernyataannya membuat mulutku – yang tadinya terbuka untuk menyuarakan protesku – menutup dan membuka beberapa kali. Ada beberapa jawaban yang terbersit di pikiranku, diantaranya adalah jawaban kasar kalau itu bukan urusannya. Tapi aku memilih untuk memikirkannya.
“Kau berdiri di pinggir tebing yang paling curam, kau bahkan telah melompati pagar pembatas dan berdiri dengan bodohnya ditepian tebing. Kau berada di ambang batas kematian kalau boleh aku sebutkan, tapi kau hanya diam saja disini sejak tadi aku perhatikan. Apa yang kau tunggu.” Wajahnya datar tanpa ekspresi, suaranya stabil tanpa emosi, aku tak tahu apa yang dia lihat dariku dari kedua mata besarnya.
Fakta-fakta yang dijabarkan oleh gadis kecil itu entah kenapa membuatku merasakan serbuan perasaan malu. Keangkuhanku sebagai orang yang lebih tua darinya, pupus bersama kesadaran bahwa aku pun tak tahu apa yang saat ini sedang kulakukan. Aku mengalihkan pandangan dari matanya yang makin membesar, mungkin dia sedang berusaha membaca amukan kata di pikiranku. Kembali kutatap batas antara langit dan laut di kejauhan.
Debur ombak secara konstan menghantam bebatuan di bawah tebing, membuatku berpaling ke ujung jari kakiku. Bebatuan beragam bentuk terhampar di bawah sana, ada sebagian yang meruncing terkikis massa air garam. Bayangan tubuh yang terjatuh ke sana, tertancap ke salah satu batu yang meruncing, atau hancur sebelum mencapai batu yang datar karena beberapa kali menumbuk bebatuan tebing yang tak rata, kemudian disapu ombak menyatu dengan lautan, terpapar di benakku. Aku menatap muram pada bebatuan di bawah.
Kuarahkan kembali tatapanku ke batas cakrawala. Kini yang kudengar hanyalah debur ombak, yang anehnya menentramkan. “Aku benar-benar tak tahu apa yang membuatku melompati pagar,” dengan pelan aku mulai membuka suara.
“Aku pun tak tahu kalau aku sedang menunggu,” Kurenungkan kembali kalimatnya ‘Apa yang kau tunggu’. “Entahlah, mungkin aku menunggu angin kencang yang akan mendorongku jatuh ke bawah. Atau mungkin aku menunggu seseorang datang mempertanyakan tindakanku.” Seusai mengucapkannya, aku menoleh kembali ke tempat tadinya anak kecil itu berdiri. Dia tidak ada disana.
Dengan heran aku menoleh ke bawah. Tidak ada gelagat aneh di sana. Kemudian kuhembuskan napasku dengan lega dan penuh syukur, aku bahkan tak sadar kalau sedari tadi aku merasakan ketegangan. Kubawa kakiku menjauh dari bibir tebing, kuedarkan pandanganku ke sepanjang daerah tebing, mencari sesosok gadis kecil. Dia tak ada dimanapun.
Kulompati pembatas pagar, dan aku berdiri berpegangan pada benda mati itu. Memohon padanya agar aku tidak melompatinya kembali. Kali lain, aku ragu alam akan berbaik hati padaku. Aku kembali berdiri menatap garis batas di kejauhan, sambil mencengkram pembatasku sendiri. Walaupun aku sudah tidak berada di bibir tebing, tapi aku masih ada di pinggirnya. Aku belum bisa bergerak dari sini, belum mampu untuk menjauh. Sekali lagi aku menunggu, dengan sadar aku menunggu waktu berlalu.

Jumat, 24 Oktober 2014

The Darkest Minds

Harga :  Rp89,900

Penulis :  Alexandra Bracken

Penerbit :  Fantasious

Code :  978-602-0900-05-6

Halaman :  592

Ukuran :  135 x 200 mm

Berat :  500 gram

Bahasa :  Indonesia









Sinopsis :

Ketika Ruby bangun pada ulang tahunnya yang kesepuluh, sesuatu tentang dirinya telah berubah. Sesuatu yang cukup mengkhawatirkan untuk membuat orangtuanya mengunci dirinya di garasi dan menelepon polisi. Sesuatu yang membuat dirinya dikirim ke Thurmond, kamp rehabilitasi milik pemerintah yang kejam. Dia mungkin telah selamat dari penyakit misterius yang membunuh sebagian besar anak-anak Amerika, tapi dia dan anak-anak lainnya harus berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih buruk: kemampuan menakutkan yang tidak dapat mereka kendalikan. Sekarang, saat berumur enam belas, Ruby termasuk salah satu orang yang memiliki kemampuan paling berbahaya.
Ketika kebenaran terungkap, Ruby susah payah meloloskan diri dari Thurmond. Sekarang dia dalam pelarian, putus asa mencoba menemukan satu tempat yang aman untuk anak-anak yang tersisa seperti dirinya—East River. Dia bergabung dengan sekelompok anak yang lolos dari kamp mereka sendiri. Liam, pemimpin mereka yang berani, sangat menyukai Ruby.Tapi tak peduli betapa dia menginginkan cowok itu, Ruby tidak bisa mengambil risiko berdekatan dengannya. Tidak setelah apa yang terjadi pada orangtuanya.
Ketika mereka tiba di East River, tempat itu tidak seperti apa yang dibayangkan, yang paling misterius adalah pemimpinnya. Tapi ada kekuatan lain yang bekerja, orang-orang yang tidak akan berhenti untuk menggunakan Ruby, dalam perjuangan mereka melawan pemerintah. Ruby akan dihadapkan dengan pilihan yang buruk, yang mungkin berarti menyerahkan satu-satunya kesempatan dia untuk sebuah kehidupan yang layak.


– *O* –



Semacam virus mematikan–tapi tentu saja itu bukan virus, ah, entah apapun itu menyebar diantara anak-anak usia delapan hingga lima belas tahun. Kematian mendadak terjadi pada anak-anak tersebut di seluruh Amerika. Mereka yang bertahan dan hidup dimasukkan ke kamp-kamp rehabilitasi yang lebih seperti penjara. Mereka dikelompokkan menjadi lima warna: hijau, biru, kuning, oranye dan merah. Warna hijau dan biru dibiarkan berkeliaran dengan bebas di dalam pusat rehabilitasi. Sedangkan tangan dan kaki anak-anak yang diberi warna merah, kuning dan oranye dirantai, dengan tambahan berangus untuk oranye (kalau mau yang keren coba bayangin masker si Bane di Batman The Dark Knight Rises, tapi bukan, yah, itu selongsong penutup yang dipakai untuk menutup moncong anjing)..

Ruby baru berusia sepuluh tahun lebih sehari, saat ia datang ke kamp rehabilitasi bernama Thurmond. Bayangkan teror yang dihadapi oleh anak sekecil itu, mulai dari kematian mendadak teman sekelas Ruby yang terjadi tepat di depan matanya saat makan siang. Ulang tahunnya yang tak pernah dirayakan, bahkan ia malah dikirim ketempat asing menakutkan hanya dengan piyama batman. Selama enam tahun, Ruby hidup dalam ketakutan akan dirinya sendiri dan hak asasinya sebagai seorang anak terpenjara bersama fisiknya di Thurmond. Jiwanya mati secara perlahan, hingga suatu hari ia akhirnya diberikan pilihan. Tetap di Thurmond dan mati, atau pergi dengan risiko mati.

Oke cukup sampai disana :) nanti malah dituduh spoiler kan gawat hehe. So, kita bahas karakter-karakter inti di buku ini saja ya.

Ruby, seperti yang sudah dijelaskan di atas, semuda itu sudah mendapat trauma mental dengan bertubi-tubi namun dia tetap bertahan. Harus diakui, instingnya untuk bertahan hiduplah yang menuntun pembaca ke kisah-kisah selanjutnya dalam buku ini. Ruby semakin berkembang dari bab ke bab, di akhir cerita Ruby mengambil keputusan untuk berkorban demi orang-orang yang dia sayangi. Jujur, bagian yang paling saya sukai adalah bab terakhir, saat dimana Ruby menjadi heroine sesungguhnya, sampai nangis saking terenyuhnya.

Liam, bayangin aja cowo pirang bermata biru dengan bahu bidang dan senyum yang bikin lumer, duhh kombinasi melumpuhkan ditambah dengan sapaan ‘hi, darlin’-nya. Liam orang yang gampang bergaul dan mudah percaya karena menurut Chubs, Liam adalah orang yang selalu mencari sisi positif dari setiap orang. Dalam kelompoknya, Liam adalah pemimpin, kakak besar, motivator, pelindung dan orang yang paling dikhawatirkan karena sering menerjang bahaya sendirian hanya agar anggotanya aman. Bisa dibilang kalau Liam benar-benar tokoh fantasi dengan ciri dan sifat-sifat sempurna: ganteng, tinggi, tegap, ramah, baik hati, pengertian, penuh kasih sayang, ceria, peduli dengan keselamatan dan perasaan orang lain.

Zu, berusia sebelas tahun dan tidak mau berbicara dengan siapapun. Tidak diceritakan kenapa Zu tidak mau membuka suaranya, hanya perkiraan bahwa itu kemungkinan akibat trauma yang dialami oleh Zu. Zu adalah anak perempuan manis keturunan Jepang dengan potongan rambut pendek seperti anak lelaki, menyukai benda-benda imut dan cantik berwarna pink. Awalnya Zu tidak mau memiliki benda-benda manis tersebut, menurut Ruby itu karena Zu merasa tidak pantas mengenakannya. Entah kejadian mengerikan macam apa yang pernah terjadi pada Zu.

Chubs, tidak ia tidak gemuk, ini hanya panggilan yang diberikan Liam untuknya, tapi menurut Liam sebutannya itu ia berikan karena Chubs terlihat lebih gemuk di antara anak-anak lain di kamp rehabilitasi. Kebalikan dari Liam, Chubs adalah tokoh realis yang sinis dan penuh curiga, dia menutup diri terhadap orang-orang baru. Bahkan Chubs membenci Ruby pada awal pertemuan mereka hingga Ruby dapat membuktikan diri bahwa ia tidak akan mencelakakan kelompok kecil mereka. Tentu saja sikap defensifnya ini diperlukan untuk mengimbangi sikap terbuka Liam. Chubs setia pada orang-orang yang dia percaya dan sayangi. Tanpa sikap permusuhan dari Chubs buku ini akan kurang berbumbu ahaha love this unfriendly kid *ditusuk jarum sama Chubs.

Secara keseluruhan ceritanya mudah untuk diikuti, apalagi sebentar lagi buku ini akan dijadikan film layar lebar. Tapi jujur saja, terasa agak membosankan di seperempat awal hingga pertengahan buku, membosankan yang bikin penasaran. Alurnya lambat tapi habis dibaca dalam waktu dua malam ahahaha apa sih. Entah kenapa jadi terbayang film How I Live Now yang dibintangi oleh Saoirse Ronan, mungkin karena insting bertahan hidup Daisy dan keinginannya untuk melindungi sepupu-sepupunya itu ya? Nah saat bertemu Gray yang terbayang malahan Sang Kelam dari buku Shadow and Bone, sebentar untuk para penggemar The Darkling ;) maksudnya adalah cara Gray mendekati Ruby, hampir sama dengan cara Darkling mendekati Alina. Penuh pesona dan kekaguman, yah begitulah, judulnya saja pikiran terkelam ya, jadi pastinya ada kegelapan yang mengintip disana ahahaha apa hayooo.

Pokoknya bagian terbaik adalah epilog yang membuat kita berharap di buku keduanya, beberapa detail yang terlewat di buku pertama akan dijelaskan disana. Seperti, apakah penyakit mematikan itu hanya terjadi pada anak-anak di Amerika saja atau terjadi juga di seluruh dunia, ada tembok pemisah di perbatasan untuk menghalangi mereka yang masuk dan yang akan keluar. Membuat kita menebak-nebak apa yang kemudian terjadi pada Ruby, Liam, Zu dan Chubs yang katakan saja, terpisah satu sama lain. Okay, rating untuk buku ini tiga dari lima bintang, karena masih berharap buku keduanya lebih seru dan menarik dari buku pertamanya.

“All the world will be your enemy, Prince with a Thousand Enemies, and whenever they catch you, they will kill you. But first they must catch you, digger, listener, runner, prince with the swift warning. Be cunning and full of tricks and your people shall never be destroyed.”  – Richard Adams, Watership Down