Simon duduk termenung di salah satu kursi tanpa punggung yang berbaris di
konter dapur apartemennya. Suatu hari,
hanya tinggal kau dan aku. Dia teringat dengan perkataan Magnus tersebut.
Perkataan yang ditujukan padanya saat memiliki tanda Cain, dan itu tidak mengurangi fakta bahwa kini, ia adalah makhluk
abadi.
Dia terjebak dalam usia mudanya, tidak akan menua, sedangkan waktu akan
terus berjalan bahkan tanpanya. Lalu bagaimana dengan Becky, kakak yang sudah
seperti ibu baginya. Becky akan menua, memiliki keluarga—suami, anak-anak dan
banyak cucu mungkin. Oh ya, Paman Simon
akan menjaga kalian semua. Pikiran itu menghadirkan senyum diujung
bibirnya.
Ketika memikirkan ibunya, Simon kembali menjadi murung. Apa yang dapat kulakukan untukmu, Ma. Ibunya
adalah makhluk yang rapuh, tiba-tiba Simon menyadarinya. Ketika Ayahnya tiada,
tanpa memedulikan kedua anaknya, Ibunya tenggelam dalam kehilangannya sendiri. Sedangkan
untuk Simon, ibunya memilih untuk menganggapnya makhluk jahat yang telah membunuh
Simon-nya.
Simon telah mati di mata ibunya. Simon pernah dikuburkan di pemakaman
Yahudi. Jadi apa salahnya kalau membiarkan ibunya tetap mengira dia telah mati.
Tapi bagaimana pun, wanita itu adalah ibunya. Dan Simon, tetaplah Simon,
anaknya, walaupun kini Simon abadi.
“Nah ini dia, Simon.” Simon menarik diri dari kegelapan jiwanya, berpaling
pada jiwa dan daya hidup yang begitu terang. Isabelle, begitu memukau dengan
rambutnya yang digelung dan ditahan dengan sumpit. Bahkan bila rambut sutra
hitam itu di mohawk dengan skinny-head, Simon akan tetap
mengganggapnya memukau. Karena bagaimana pun wujud fisiknya, Izzy adalah Izzy,
seorang petarung, yang tidak akan membiarkan apa pun atau siapa pun, menyakiti
dirinya dan orang-orang yang disayanginya. Izzy bagaikan mawar yang berduri,
dibalik duri yang merupakan pertahanannya, tersimpan hati yang tulus dan
penyayang.
Isabelle muncul di depan pintu apartemennya dengan membawa bungkusan yang
berisi bahan-bahan makanan. Izzy berkata bahwa dia ingin memasak, dan karena
hanya Simon yang bersedia memakan sup-nya dulu saat pertama mereka bertemu—Izzy
ingin membuatkan sesuatu yang istimewa untuknya. Simon tersenyum saat
mendengarnya, karena Simon tahu bahwa itu hanyalah alasan Izzy untuk
menemuinya. Simon sudah tidak memakan makanan fana lagi, dan Izzy juga
seharusnya tahu akan hal itu.
Alasan apa pun yang membawa Izzy ke apartemennya, Simon akan bersyukur
untuk hal tersebut. Apa pun untuk mengalihkan pikiran kelamnya. Becky pergi ke
rumah ibu mereka, setelah memahami keadaan Simon sebagai vampir. Becky akan
mencoba menjelaskan pada ibu mereka, bahwa Simon masih hidup. Entah bagaimana
caranya, Becky meyakinkan Simon bahwa Mama akan dapat menerimanya kembali.
Bagaimana kakaknya bisa seyakin itu? Simon sendiri meragukan kemungkinan
tersebut. Bukan Becky yang melihat ketakutakan murni di mata ibu mereka. Bukan Becky yang ingin dibunuh karena dianggap sebagai monster.
“Jadi, kau akan memakannya atau tidak?!” Simon kembali menyeret pikirannya
pada masa kini. Di hadapannya, tersaji sesuatu yang mirip dengan lahar gunung
berapi. Begitu merah, begitu kental dan—
“Apa ini Iz?” Simon memandang Izzy, dan sekali lagi terpukau. Gadis itu
memakai sweater merah yang membiarkan satu bahunya terbuka, dengan garis leher
yang terpampang karena rambutnya yang digelung ke atas. Simon merasa, lapar—
“Ini Chili Con Carne khas
Meksiko,” Izzy mengangkat salah satu bahunya yang terbuka. Dan itu menyebabkan garis
leher sweaternya semakin merosot. Simon melakukan gerakan yang mirip dengan
menelan ludah. Mereka hanya berdua di apartemen ini. Sejak Becky memutuskan
untuk tinggal dengan Simon, sepertinya Jordan membuat sarang cintanya dengan
Maia di tempat lain. Mereka berdua tidak pernah terlihat muncul di apartemen
ini.
“Simon,” tiba-tiba Izzy tersenyum menggoda. “Kau akan memakan makanan itu,
atau akan memakanku...” Izzy membungkukkan badannya dan menaruh kedua tangannya
di konter, berhadapan dengan Simon. Sajian yang sungguh menggoda.
Cepat-cepat Simon menunduk dan menyendokkan cabai apa pun itu ke dalam
mulutnya. Dan Simon tersedak—bisakah itu terjadi? Seorang vampir tersedak
makanan? Tenggorokan Simon terasa terbakar. “Simon...” Izzy memanggilnya dengan
ragu. Ketika api itu terus turun hingga ke perut, Simon membungkuk dan
memegangi perutnya.
“Oh! Simon!” Izzy berteriak, ada ketakutan dalam suaranya. Terdengar
langkah panik mengitari konter dan berhenti tepat disampingnya. Simon merasakan
tangan halus yang gemetar menyentuh bahunya. “Simon...” suara itu begitu lirih,
halus berbisik, seakan Simon akan menghilang bila suara itu meninggi.
Dengan ketangkasan hewan pemangsa, Simon meraih tengkuk Isabelle. Sekejap,
Simon melihat kecemasan dan rasa takut pada wajah cantik Isabelle, sebelum
digantikan dengan ekspresi terkejut. Simon tidak memberi waktu untuk emosi-emosi
lainnya, ia harus mencium Isabelle sekarang—
Mereka tenggelam dalam ciuman panas yang membakar mulut dan lidah mereka.
Ada keputusasaan di dalamnya, dan perasaan-perasaan lain yang menyesakkan
dadanya. Simon merasa bahwa Isabelle adalah cahayanya, jangkarnya didunia ini,
miliknya—dan ciuman itu pun terputus.
“Beraninya kau!” Izzy memukul dadanya dan berdiri tegak. Simon tidak mampu
memahami apa yang baru saja terjadi, dia hanya mampu menatap Isabelle yang
terengah akibat ciuman mereka. “Apa yang kau lakukan tadi itu tidak lucu!” Izzy
berteriak marah dan mengepalkan kedua tangannya seakan ingin memukul Simon dan
menjatuhkannya layaknya seorang pemburu. Kedua tangan itu terangkat tapi bukan
untuk menyakiti Simon, tangan itu melingkupi wajah Isabelle yang telah basah
dengan air mata. “Ku kira kau mati—“ suara Izzy teredam oleh air mata dan
tangannya.
Dengan refleks, Simon membuai Izzy dalam pelukannya. “Maafkan aku
Isabelle,” Simon berbisik di puncak kepala Isabelle. “Aku tidak bermaksud untuk
berpura-pura mati—sungguh,” Simon membelai rambut Izzy dengan sayang. “Kau tahu
kan kalau aku ini memang sudah mati.” Simon merasakan sikutan tajam di rusuk
kanannya. “Yeah, maaf bukan itu maksudku, tapi masakanmu memang bisa membunuhku, lagi.”
Isabelle menjatuhkan tangannya dan mengangkat wajahnya, menatap mata coklat
Simon, senyum menghias wajah itu dengan humor dan kejenakaan. “Hmm, yeah, aku
rasa itu memang terlalu pedas,” Isabelle menghapus sisa air matanya, entah
kenapa bila berada di dekat Simon, Izzy mengalami kesulitan untuk mengendalikan
emosinya. Dia baru sadar bahwa rasa terbakar yang dirasakannya saat berciuman
tadi adalah rasa masakannya. Isabelle mengerutkan dahi dan menjilat bibirnya. Baiklah, ternyata aku tidak perlu menggunakan
satu botol cabai bubuk dan tabasco, lain kali akan kubuat setengah botol untuk
masing-masingnya.
Isabelle mengangkat pandangannya, dan melihat tatapan Simon yang terpaku
pada bibirnya. Dan dia pun tersenyum. Siapa
bilang aku yang harus mengatakannya Clary, lihatlah, aku akan membuat Simon
mengatakannya padaku. “Jadi, untuk apa ciuman tadi, Simon?” Isabelle
berusaha menunjukkan wajah tegas. Berusaha untuk tidak peduli dengan jawaban
yang akan diberikan Simon padanya.
Simon hanya terdiam. Apa tadi yang
ditanyakan oleh Isabelle? Entah kenapa, rasanya pikirannya pergi, jauh ke dasar
hatinya. Ada sesuatu yang terjadi di sana, hingga dia tak mampu lagi berpikir.
“Kenapa kau menciumku, Simon?”Izzy kembali menjadi dirinya saat pertama
kali mereka bertemu, pemburu tangguh yang tidak membutuhkan siapa pun untuk
menjaganya. Izzy melipat tangannya di dada, menunggu jawaban Simon.
Simon menjauh selangkah dari Izzy, memberikan jarak. “Aku hanya ingin saja
menciummu.”
“Ugghhh!” Izzy mengayunkan lengannya ke atas, memutar bola matanya dan berbalik—berjalan
menjauh memunggunggi Simon. “Baiklah, aku menyerah, seharusnya aku lebih
mendengarkanmu, Clary. Pria dungu ini tidak akan lebih dulu mengatakan bahwa
dia mencintaiku.” Izzy berbisik menggerutu dengan frustasi, satu tangan ditaruh
di perut rampingnya menopang siku tangan lainnya yang dia angkat agar bisa
menggigiti ibu jari tangan tersebut.
Simon bahagia, senyum lebar memenuhi wajahnya, perasaan itu meluap dan
dengan penuh suka cita Simon berenang di dalamnya. Itulah rasa yang dari tadi
tidak dapat dipahaminya. Hatinya telah berbisik pada Simon bahwa Izzy datang
dengan membawa serta cinta untuknya. Namun otak Simon tak mampu mencernanya.
Bagaimana bisa—
“Isabelle...” Tiba-tiba, Simon sudah ada dihadapannya. Tak heran karena dia
adalah vampir, Simon bisa bergerak dengan cepat. Isabelle menurunkan lengannya,
dan bertekad, dengan menelan harga dirinya. “Simon—“ Izzy tidak dapat melanjutkan
kalimatnya, jari Simon diletakkan di bibirnya, mencegahnya untuk berbicara.
Dengan lembut, jari Simon membelai bibir bawah Izzy. “Apa benar kau
mencintaiku, Isabelle.”
Izzy membelalak terkejut. “Da.. dari mana kau... a.. apa yang...” Izzy
menjawab dengan terbata-bata rona merah menjalari pipinya. Setelah menelan
ludah dan menarik diri dari sentuhan Simon, Izzy menemukan kembali suaranya.
“Kenapa kau berpikiran seperti itu.” Izzy terkejut mendapati suaranya yang
tenang. Jantungnya berdetak dengan cepat, sehingga dia merasa pusing, dan
merasakan getaran yang akan mengoyahkan lututnya.
“Aku vampir,” setelah diam sejenak, Simon melanjutkan, “aku mendengar
bisikanmu tadi.” Seperti lilin yang dipadamkan, sesuatu yang tadi bergelora
dalam tatapan Simon padam, kemudian dia menundukkan kepalanya.
Oh, Clary, kau benar. Sebentar
lagi dia akan menyerah, dia membutuhkanku untuk mengatakannya. Dan aku
membutuhkan dirinya, tidak akan kubiarkan dia menyerah begitu mudah.
“Simon, pandang aku,” Isabelle merapatkan jarak di antara mereka, dengan
lembut diraihnya rahang Simon yang bergemeretak. “Kumohon Simon, pandang aku.”
Ketika Simon mengangkat pandangannya, mata coklat itu bertanya padanya ‘apakah kau tidak menginginkanku?’. Isabelle
pernah merasakannya juga, jauh sebelum Robert Lightwood mengurung diri di
Idris, ketika ia melihat ibunya menangis. Papa,
apakah kau sudah tidak menginginkan kami lagi?
Seketika itu juga Izzy ingin merengkuh Simon dalam pelukannya, dan tidak
akan pernah melepaskan pelukan itu. Ya, nanti, sekarang dia harus meyakinkan mata
coklat itu. Izzy menyentuh kedua pipi Simon, menahannya dengan mantap. Izzy memandang
ke dalam mata Simon, berusaha untuk menarik jauh rasa tidak diinginkan dari
dalam diri Simon. “Ya, aku mencintaimu, Simon Lewis. Kau, Fana aneh yang mau
memakan sup-ku, yang rela mati untuk sahabatmu, vampir bodoh yang tidak mau
meminum darah segar, kutu buku yang menceritakan kisah Luke Skywalker padaku.
Aku membutuhkanmu, Simon, mungkin sejak pertama kali kita bertemu, tapi aku
terlalu takut untuk mencari tahu.”
Simon tercekat, dia menangkup kedua tangan Izzy di pipinya. “Tapi... “
Simon mencari-cari dalam tatapan Izzy, disana tidak ada setitik pun keraguan.
Simon menurunkan tangan Izzy dan menggenggamnya, dia ingin mempercayai ini,
ingin merengkuh Izzy selamanya. Simon pun mengaku, “kau seperti mawar Izzy,
sangat indah, sedangkan aku hanyalah sebuah semak belukar.”
Izzy mengeratkan genggamannya. “Kalau memang begitu, akan akan menjadi
mawar yang tumbuh ditengah-tengah semak belukar itu, Simon. Semak itu akan
menjaga mawar dari tangan-tangan yang ingin memetiknya, bukankah begitu? Maka
kau harus menjaga hatiku, Simon, karena aku menyerahkannya padamu.”
Simon memejamkan matanya, menaruh hati Izzy dengan aman disebelah hatinya. “Isabelle,
ya, aku akan menjaganya,” Simon kembali menatap Izzy, mawarnya, Simon tahu
bahwa Izzy akan mampu menjaga dirinya sendiri dengan duri-duri yang mengancam
setiap orang yang ingin menyakiti dirinya. Tapi Izzy mempercayakan hal itu
padanya. “Aku mencintaimu Izzy. Kau adalah cahayaku, jangan biarkan aku
sendirian dalam kegelapan.”
“Tidak akan, Simon. Kau milikku. Aku tidak akan membiarkan apa pun
membuatmu menghilang dariku.”
Mata Isabelle yang sehitam arang itu bersinar dengan cinta, tanpa batas, dan cinta itu
untuknya. Seorang anak yang disebut monster oleh ibunya sendiri. Dengan lembut
disentuhnya pipi Isabelle, mawarnya yang berharga. “Ya, Isabelle, ya.” Tolong jangan biarkan kegelapan itu
menenggelamkanku. Simon memeluk Izzy dengan erat—jangkarnya, menelusuri
pipi Isabelle dengan ciuman, ke sudut mulutnya, dan akhirnya bibir mereka pun bertemu.
Ciuman dengan rasa cabai bubuk dan tabasco.
—fin—
Fanfic ini dibuat untuk
mengikuti kontes #TMIndoSpreadTheLove ( @tmindo )
Ratih Febiyanti ( @ratih_febiyanti )