Jumat, 21 Februari 2014

Jakarta, 22 Oktober 2013



Aku kehilangan rumahku, kehilangan tumpuan hidupku
Aku terombang-ambing sendirian di dunia tanpa dia yang biasanya mendampingi
Aku kesepian tanpa dia yang biasanya selalu ada
Aku mengambang tanpa dia yang biasanya menjadi jangkar
Aku hampa tanpa dia yang biasa mengisi keseharianku

Kini aku tak punya rumah, tempatku pulang dan berkeluh kesah
Kini aku kehilangan sahabat sejati yang mengerti aku lebih dari diriku sendiri
Kini aku kehilangan teman untuk menangis dan tertawa bersama
Kini tak ada yang menyambut hangat diriku dalam sebuah pelukan tanpa pamrih
Kini aku harus berjalan sendiri tanpa ada yang menggandeng dan mendorongku untuk tetap maju

Selamat jalan Ibu, kau segalanya bagiku
Terima kasih untuk segala yang telah kau lakukan untukku
Maafkan anakmu yang selalu meminta lebih tetapi memberi kurang padamu
Kini ku hanya mencoba bertahan tanpamu, karena selama ini kaulah arti hidupku
Doakan anakmu ini sekali lagi Ibu, untuk dapat berdiri menghadapi dunia tanpa bimbinganmu

Selasa, 11 Februari 2014

Rose In The Shrub



Simon duduk termenung di salah satu kursi tanpa punggung yang berbaris di konter dapur apartemennya. Suatu hari, hanya tinggal kau dan aku. Dia teringat dengan perkataan Magnus tersebut. Perkataan yang ditujukan padanya saat memiliki tanda Cain, dan itu tidak mengurangi fakta bahwa kini, ia adalah makhluk abadi.
Dia terjebak dalam usia mudanya, tidak akan menua, sedangkan waktu akan terus berjalan bahkan tanpanya. Lalu bagaimana dengan Becky, kakak yang sudah seperti ibu baginya. Becky akan menua, memiliki keluarga—suami, anak-anak dan banyak cucu mungkin. Oh ya, Paman Simon akan menjaga kalian semua. Pikiran itu menghadirkan senyum diujung bibirnya.
Ketika memikirkan ibunya, Simon kembali menjadi murung. Apa yang dapat kulakukan untukmu, Ma. Ibunya adalah makhluk yang rapuh, tiba-tiba Simon menyadarinya. Ketika Ayahnya tiada, tanpa memedulikan kedua anaknya, Ibunya tenggelam dalam kehilangannya sendiri. Sedangkan untuk Simon, ibunya memilih untuk menganggapnya makhluk jahat yang telah membunuh Simon-nya.
Simon telah mati di mata ibunya. Simon pernah dikuburkan di pemakaman Yahudi. Jadi apa salahnya kalau membiarkan ibunya tetap mengira dia telah mati. Tapi bagaimana pun, wanita itu adalah ibunya. Dan Simon, tetaplah Simon, anaknya, walaupun kini Simon abadi.
“Nah ini dia, Simon.” Simon menarik diri dari kegelapan jiwanya, berpaling pada jiwa dan daya hidup yang begitu terang. Isabelle, begitu memukau dengan rambutnya yang digelung dan ditahan dengan sumpit. Bahkan bila rambut sutra hitam itu di mohawk dengan skinny-head, Simon akan tetap mengganggapnya memukau. Karena bagaimana pun wujud fisiknya, Izzy adalah Izzy, seorang petarung, yang tidak akan membiarkan apa pun atau siapa pun, menyakiti dirinya dan orang-orang yang disayanginya. Izzy bagaikan mawar yang berduri, dibalik duri yang merupakan pertahanannya, tersimpan hati yang tulus dan penyayang.
Isabelle muncul di depan pintu apartemennya dengan membawa bungkusan yang berisi bahan-bahan makanan. Izzy berkata bahwa dia ingin memasak, dan karena hanya Simon yang bersedia memakan sup-nya dulu saat pertama mereka bertemu—Izzy ingin membuatkan sesuatu yang istimewa untuknya. Simon tersenyum saat mendengarnya, karena Simon tahu bahwa itu hanyalah alasan Izzy untuk menemuinya. Simon sudah tidak memakan makanan fana lagi, dan Izzy juga seharusnya tahu akan hal itu.
Alasan apa pun yang membawa Izzy ke apartemennya, Simon akan bersyukur untuk hal tersebut. Apa pun untuk mengalihkan pikiran kelamnya. Becky pergi ke rumah ibu mereka, setelah memahami keadaan Simon sebagai vampir. Becky akan mencoba menjelaskan pada ibu mereka, bahwa Simon masih hidup. Entah bagaimana caranya, Becky meyakinkan Simon bahwa Mama akan dapat menerimanya kembali. Bagaimana kakaknya bisa seyakin itu? Simon sendiri meragukan kemungkinan tersebut. Bukan Becky yang melihat ketakutakan murni di mata ibu mereka. Bukan Becky yang ingin dibunuh karena dianggap sebagai monster.
“Jadi, kau akan memakannya atau tidak?!” Simon kembali menyeret pikirannya pada masa kini. Di hadapannya, tersaji sesuatu yang mirip dengan lahar gunung berapi. Begitu merah, begitu kental dan—
“Apa ini Iz?” Simon memandang Izzy, dan sekali lagi terpukau. Gadis itu memakai sweater merah yang membiarkan satu bahunya terbuka, dengan garis leher yang terpampang karena rambutnya yang digelung ke atas. Simon merasa, lapar—
“Ini Chili Con Carne khas Meksiko,” Izzy mengangkat salah satu bahunya yang terbuka. Dan itu menyebabkan garis leher sweaternya semakin merosot. Simon melakukan gerakan yang mirip dengan menelan ludah. Mereka hanya berdua di apartemen ini. Sejak Becky memutuskan untuk tinggal dengan Simon, sepertinya Jordan membuat sarang cintanya dengan Maia di tempat lain. Mereka berdua tidak pernah terlihat muncul di apartemen ini.
“Simon,” tiba-tiba Izzy tersenyum menggoda. “Kau akan memakan makanan itu, atau akan memakanku...” Izzy membungkukkan badannya dan menaruh kedua tangannya di konter, berhadapan dengan Simon. Sajian yang sungguh menggoda.
Cepat-cepat Simon menunduk dan menyendokkan cabai apa pun itu ke dalam mulutnya. Dan Simon tersedak—bisakah itu terjadi? Seorang vampir tersedak makanan? Tenggorokan Simon terasa terbakar. “Simon...” Izzy memanggilnya dengan ragu. Ketika api itu terus turun hingga ke perut, Simon membungkuk dan memegangi perutnya.
“Oh! Simon!” Izzy berteriak, ada ketakutan dalam suaranya. Terdengar langkah panik mengitari konter dan berhenti tepat disampingnya. Simon merasakan tangan halus yang gemetar menyentuh bahunya. “Simon...” suara itu begitu lirih, halus berbisik, seakan Simon akan menghilang bila suara itu meninggi.
Dengan ketangkasan hewan pemangsa, Simon meraih tengkuk Isabelle. Sekejap, Simon melihat kecemasan dan rasa takut pada wajah cantik Isabelle, sebelum digantikan dengan ekspresi terkejut. Simon tidak memberi waktu untuk emosi-emosi lainnya, ia harus mencium Isabelle sekarang—
Mereka tenggelam dalam ciuman panas yang membakar mulut dan lidah mereka. Ada keputusasaan di dalamnya, dan perasaan-perasaan lain yang menyesakkan dadanya. Simon merasa bahwa Isabelle adalah cahayanya, jangkarnya didunia ini, miliknya—dan ciuman itu pun terputus.
“Beraninya kau!” Izzy memukul dadanya dan berdiri tegak. Simon tidak mampu memahami apa yang baru saja terjadi, dia hanya mampu menatap Isabelle yang terengah akibat ciuman mereka. “Apa yang kau lakukan tadi itu tidak lucu!” Izzy berteriak marah dan mengepalkan kedua tangannya seakan ingin memukul Simon dan menjatuhkannya layaknya seorang pemburu. Kedua tangan itu terangkat tapi bukan untuk menyakiti Simon, tangan itu melingkupi wajah Isabelle yang telah basah dengan air mata. “Ku kira kau mati—“ suara Izzy teredam oleh air mata dan tangannya.
Dengan refleks, Simon membuai Izzy dalam pelukannya. “Maafkan aku Isabelle,” Simon berbisik di puncak kepala Isabelle. “Aku tidak bermaksud untuk berpura-pura mati—sungguh,” Simon membelai rambut Izzy dengan sayang. “Kau tahu kan kalau aku ini memang sudah mati.” Simon merasakan sikutan tajam di rusuk kanannya. “Yeah, maaf bukan itu maksudku, tapi masakanmu memang bisa membunuhku, lagi.”
Isabelle menjatuhkan tangannya dan mengangkat wajahnya, menatap mata coklat Simon, senyum menghias wajah itu dengan humor dan kejenakaan. “Hmm, yeah, aku rasa itu memang terlalu pedas,” Isabelle menghapus sisa air matanya, entah kenapa bila berada di dekat Simon, Izzy mengalami kesulitan untuk mengendalikan emosinya. Dia baru sadar bahwa rasa terbakar yang dirasakannya saat berciuman tadi adalah rasa masakannya. Isabelle mengerutkan dahi dan menjilat bibirnya. Baiklah, ternyata aku tidak perlu menggunakan satu botol cabai bubuk dan tabasco, lain kali akan kubuat setengah botol untuk masing-masingnya.
Isabelle mengangkat pandangannya, dan melihat tatapan Simon yang terpaku pada bibirnya. Dan dia pun tersenyum. Siapa bilang aku yang harus mengatakannya Clary, lihatlah, aku akan membuat Simon mengatakannya padaku. “Jadi, untuk apa ciuman tadi, Simon?” Isabelle berusaha menunjukkan wajah tegas. Berusaha untuk tidak peduli dengan jawaban yang akan diberikan Simon padanya.
Simon hanya terdiam. Apa tadi yang ditanyakan oleh Isabelle? Entah kenapa, rasanya pikirannya pergi, jauh ke dasar hatinya. Ada sesuatu yang terjadi di sana, hingga dia tak mampu lagi berpikir.
“Kenapa kau menciumku, Simon?”Izzy kembali menjadi dirinya saat pertama kali mereka bertemu, pemburu tangguh yang tidak membutuhkan siapa pun untuk menjaganya. Izzy melipat tangannya di dada, menunggu jawaban Simon.
Simon menjauh selangkah dari Izzy, memberikan jarak. “Aku hanya ingin saja menciummu.”
“Ugghhh!” Izzy mengayunkan lengannya ke atas, memutar bola matanya dan berbalik—berjalan menjauh memunggunggi Simon. “Baiklah, aku menyerah, seharusnya aku lebih mendengarkanmu, Clary. Pria dungu ini tidak akan lebih dulu mengatakan bahwa dia mencintaiku.” Izzy berbisik menggerutu dengan frustasi, satu tangan ditaruh di perut rampingnya menopang siku tangan lainnya yang dia angkat agar bisa menggigiti ibu jari tangan tersebut.
Simon bahagia, senyum lebar memenuhi wajahnya, perasaan itu meluap dan dengan penuh suka cita Simon berenang di dalamnya. Itulah rasa yang dari tadi tidak dapat dipahaminya. Hatinya telah berbisik pada Simon bahwa Izzy datang dengan membawa serta cinta untuknya. Namun otak Simon tak mampu mencernanya. Bagaimana bisa—
“Isabelle...” Tiba-tiba, Simon sudah ada dihadapannya. Tak heran karena dia adalah vampir, Simon bisa bergerak dengan cepat. Isabelle menurunkan lengannya, dan bertekad, dengan menelan harga dirinya. “Simon—“ Izzy tidak dapat melanjutkan kalimatnya, jari Simon diletakkan di bibirnya, mencegahnya untuk berbicara.
Dengan lembut, jari Simon membelai bibir bawah Izzy. “Apa benar kau mencintaiku, Isabelle.”
Izzy membelalak terkejut. “Da.. dari mana kau... a.. apa yang...” Izzy menjawab dengan terbata-bata rona merah menjalari pipinya. Setelah menelan ludah dan menarik diri dari sentuhan Simon, Izzy menemukan kembali suaranya. “Kenapa kau berpikiran seperti itu.” Izzy terkejut mendapati suaranya yang tenang. Jantungnya berdetak dengan cepat, sehingga dia merasa pusing, dan merasakan getaran yang akan mengoyahkan lututnya.
“Aku vampir,” setelah diam sejenak, Simon melanjutkan, “aku mendengar bisikanmu tadi.” Seperti lilin yang dipadamkan, sesuatu yang tadi bergelora dalam tatapan Simon padam, kemudian dia menundukkan kepalanya.
Oh, Clary, kau benar. Sebentar lagi dia akan menyerah, dia membutuhkanku untuk mengatakannya. Dan aku membutuhkan dirinya, tidak akan kubiarkan dia menyerah begitu mudah.
“Simon, pandang aku,” Isabelle merapatkan jarak di antara mereka, dengan lembut diraihnya rahang Simon yang bergemeretak. “Kumohon Simon, pandang aku.” Ketika Simon mengangkat pandangannya, mata coklat itu bertanya padanya ‘apakah kau tidak menginginkanku?’. Isabelle pernah merasakannya juga, jauh sebelum Robert Lightwood mengurung diri di Idris, ketika ia melihat ibunya menangis. Papa, apakah kau sudah tidak menginginkan kami lagi?
Seketika itu juga Izzy ingin merengkuh Simon dalam pelukannya, dan tidak akan pernah melepaskan pelukan itu. Ya, nanti, sekarang dia harus meyakinkan mata coklat itu. Izzy menyentuh kedua pipi Simon, menahannya dengan mantap. Izzy memandang ke dalam mata Simon, berusaha untuk menarik jauh rasa tidak diinginkan dari dalam diri Simon. “Ya, aku mencintaimu, Simon Lewis. Kau, Fana aneh yang mau memakan sup-ku, yang rela mati untuk sahabatmu, vampir bodoh yang tidak mau meminum darah segar, kutu buku yang menceritakan kisah Luke Skywalker padaku. Aku membutuhkanmu, Simon, mungkin sejak pertama kali kita bertemu, tapi aku terlalu takut untuk mencari tahu.”
Simon tercekat, dia menangkup kedua tangan Izzy di pipinya. “Tapi... “ Simon mencari-cari dalam tatapan Izzy, disana tidak ada setitik pun keraguan. Simon menurunkan tangan Izzy dan menggenggamnya, dia ingin mempercayai ini, ingin merengkuh Izzy selamanya. Simon pun mengaku, “kau seperti mawar Izzy, sangat indah, sedangkan aku hanyalah sebuah semak belukar.”
Izzy mengeratkan genggamannya. “Kalau memang begitu, akan akan menjadi mawar yang tumbuh ditengah-tengah semak belukar itu, Simon. Semak itu akan menjaga mawar dari tangan-tangan yang ingin memetiknya, bukankah begitu? Maka kau harus menjaga hatiku, Simon, karena aku menyerahkannya padamu.”
Simon memejamkan matanya, menaruh hati Izzy dengan aman disebelah hatinya. “Isabelle, ya, aku akan menjaganya,” Simon kembali menatap Izzy, mawarnya, Simon tahu bahwa Izzy akan mampu menjaga dirinya sendiri dengan duri-duri yang mengancam setiap orang yang ingin menyakiti dirinya. Tapi Izzy mempercayakan hal itu padanya. “Aku mencintaimu Izzy. Kau adalah cahayaku, jangan biarkan aku sendirian dalam kegelapan.”
“Tidak akan, Simon. Kau milikku. Aku tidak akan membiarkan apa pun membuatmu menghilang dariku.”
Mata Isabelle yang sehitam arang itu bersinar dengan cinta, tanpa batas, dan cinta itu untuknya. Seorang anak yang disebut monster oleh ibunya sendiri. Dengan lembut disentuhnya pipi Isabelle, mawarnya yang berharga. “Ya, Isabelle, ya.” Tolong jangan biarkan kegelapan itu menenggelamkanku. Simon memeluk Izzy dengan erat—jangkarnya, menelusuri pipi Isabelle dengan ciuman, ke sudut mulutnya, dan akhirnya bibir mereka pun bertemu. Ciuman dengan rasa cabai bubuk dan tabasco.


—fin—



Fanfic ini dibuat untuk mengikuti kontes #TMIndoSpreadTheLove ( @tmindo )
Ratih Febiyanti ( @ratih_febiyanti )

Kamis, 06 Februari 2014

Valentine Dream



Alec berdiri di depan pintu apartemen Magnus, ragu untuk mengetuk pintu tersebut. Alec menerima pesan dari Magnus melalui telepon genggamnya. Magnus memintanya datang ke apartemen, Alec dengan segera – lebih tepatnya berlari – menuju apartemen. Kini Ia tidak yakin akan disambut dengan baik oleh Magnus. Alec tidak pernah bertemu lagi dengan Magnus semenjak pertengkaran terakhir yang menyebabkan putusnya hubungan mereka. Alec masih teringat dengan sakit hati dan kekecewaan yang tampak di mata kucing Magnus.
Sejak saat itu Alec pun hancur, satu-satunya orang yang menunjukkan siapa diri Alec sebenarnya, seseorang yang menerima jati diri Alec seutuhnya, seseorang yang sungguh-sungguh mencintainya. Dan seseorang itu menjauh darinya untuk selamanya. Padahal sesungguhnya Alec hanya ingin bersama Magnus selama hidupnya, tapi yang ia perbuat malah menyebabkan jurang dalam diantara mereka. Alec sadar bahwa menghilangkan keabadian Magnus adalah demi keuntungannya sendiri. Alec tidak dapat meninggalkan kehidupan nephilimnya, ingin menua dan mati sebagai seorang pemburu bayangan. Magnus menerima diri Alec apa adanya, dan sebagai balasannya Alec ingin mengubah jati diri Magnus dari immortal menjadi mortal. Kesalahan Alec tidak termaafkan, ia dibutakan oleh keegoisan cintanya pada Magnus.
Tiba-tiba pintu apartemen itu terbuka dengan sendirinya. Alec takut melangkah masuk, takut untuk bertemu Magnus, takut untuk hancur yang kesekian kalinya. Dari dalam apartment, mengalun lagu lembut dari alunan orkestra. Dari luar pintu, Alec melihat pantulan cahaya api yang menari-nari diseputar dinding dalam apartemen.
“Masuklah, Alec.” Alec bergidik mendengar suara berat Magnus yang sangat dirindukannya. Suara itu seperti merengkuhnya, membuainya dan – Alec sungguh berharap – memaafkannya.
Alec menempatkan satu kaki di depan kaki lainnya. Perlahan memasuki apartemen itu, seketika itu juga ia dilanda perasaan rindu. Sudah berapa lama ia tidak kemari? Alec merasa sudah berpuluh-puluh tahun merindukan apartemen ini, rumah Magnus, tempat dimana hatinya ia taruh.
Magnus tidak terlihat dimanapun, Alec memandang seluruh ruang depan, mungkinkah Magnus di kamar? Alec tidak sempat mencari Magnus di kamar, Ia tertegun di perapian yang tidak ada disana sebelumnya. Di depan perapian terhampar kain sutra beralaskan karpet bulu dengan bantal-bantal bulu angsa diatasnya. Terdapat hidangan lengkap di bawah kaki Alec yang berdiri terpesona oleh semua yang ada di hadapannya.
“Aku tahu, aku tahu. Aku memang hebat, Warlock terhebat yang pernah ada. Simpan rasa kagummu untuk nanti Alec, ini belum ada apa-apanya, kau takkan pernah bisa berhenti mengagumiku.” Magnus muncul dari dalam kamar. Dengan otomatis kepala Alec berputar kearah suara tersebut. Suara itu menghipnotisnya, tapi apa yang Alec lihat, membiusnya.
Magnus berdiri ditengah pintu kamar, memakai kemeja sebiru langit sehabis hujan. Lengan kemeja tersebut digulung sampai siku, Magnus membawa botol anggur di tangan satunya dan dua gelas anggur di tangannya yang satunya lagi. Tidak ada glitter dimana pun, tidak ada warna eksentrik, tidak ada gel rambut. Rambut Magnus dengan lembut jatuh di dahi dan tengkuknya, membuat Alec gatal ingin menyusupkan tangannya kesana. Magnus tampak lebih muda dengan penampilannya yang sekarang. Senyum miring menghias wajah tampannya. Alec hampir berhenti bernapas, senyum itu bagaikan surga yang disajikan dihadapannya. Suara itu, senyum itu, mata itu, wajah itu, Alec merasa dia akan sanggup melahap diri Magnus selamanya.
Magnus mengulurkan tangannya kepada Alec. Alec mengerjap, bukankah tadi Magnus membawa botol dan gelas? Ahh benar, Magnus dan sihirnya. Alec menatap tangan yang terulur itu.
“Ayolah, Alec.” Magnus tersenyum. “Aku janji tanganku tidak akan mengigitmu, hanya akan ada belaian untukmu.” Magnus tersenyum menggoda. Tanpa ampun wajah Alec pun memerah, tiba-tiba suhu ruangan bertambah panas. Dengan segera Alec menyambar uluran tangan Magnus. Magnus menggenggam tangan Alec.
Alec tak kuasa menahan serbuan berbagai rasa, air mata hampir saja tak dapat dibendungnya. Alec mengeratkan genggamannya. Magnus menuntunnya ke depan perapian. Magnus melepaskan jaket Alec dengan perlahan, jaket itu pun terbang menuju gantungan di dekat pintu. Ketika akan melepaskan syal biru yang merupakan hadiah dari Magnus. Dengan lembut Magnus mengelus bahan syal tersebut. Alec pun bergetar, sentuhan Magnus seolah menembus syal dan Alec merasakan sentuhan itu jauh di dalam dirinya.
Hatinya mendengkur seperti seekor anak kucing. Dengkuran tersebut sampai terdengar di telinganya. Tidak, tunggu, Alec memang mendengar suara dengkuran. Chairman Meow, berputar-putar di kaki Alec, mengusap-usapkan dirinya disana. “Sang Chairman Meow merindukanmu, Alec,” Magnus menunduk untuk menggendong anak kucing itu. Dalam hati Alec bertanya, ‘bagaimana dengan dirimu, Magnus, rindukah kau padaku?’ Alec harus menelan pertanyaan tersebut. Alec tidak berani bertanya, membuka mulut pun dia tak sanggup. Alec masih tidak mempercayai semua ini. Benarkah Magnus telah memaafkannya? Alec ingat dengan jelas penolakan Magnus, matanya yang berkilat dengan rasa sakit hati.
Chairman Meow bergelung dengan nyaman di lengan Magnus. Alec iri dengan makhluk itu, Alec ingin dialah yang berada dalam kungkungan lengan itu, aman dan nyaman.
“Duduklah bersamaku, Alec. Aku menyiapkan ini semua untukmu. Bagaimana menurutmu?” Magnus bertanya padanya, seulas senyum tersungging di bibirnya. Alec terpaku pada bibir menggiurkan itu, teringat akan ciuman-ciuman mereka.
“Aku masih menunggu pendapatmu, Alec.” Magnus kini menyengir padanya, tangan Magnus membelai bulu Chairman Meow.
Apa yang dikatakan Magnus? Ah ya, pendapatnya. Tenggorokan Alec serasa sekering gurun pasir, ketika dia menjawab, suaranya parau seperti burung yang kesakitan, Alec harus berdeham untuk menjernihkan suaranya. “Ini… Ini bagus.” Alec bingung harus menjawab apa. Pikirannya penuh dengan berbagai macam hal tentang Magnus, tentang pertengkaran mereka, tentang kenangan manis mereka, tentang perasaan bersalahnya pada Magnus.
“Bagus?” Magnus menaikkan sebelah alis hitamnya. “Oh, tidak, Alec, aku mengharapkan lebih dari bagus. Kau tegang dan sangat diam hari ini. Ayolah, ini adalah hari kasih sayang. Tunjukkanlah rasa sayangmu padaku, Alec. Kemarilah.” Magnus menarik Alec, dengan sekali sentakan, Alec berada dalam pangkuan Magnus, menggantikan tempat Chairman Meow sebelumnya. Syukurlah, ia tak tahan melihat kucing itu berbaring terus-terusan dipangkuan Magnus, dan kini kucing itu pun tak terlihat di manapun.
Alec menarik napasnya, menghidu dalam-dalam aroma tubuh Magnus. Magnus memeluknya, melingkupinya dan memandangnya penuh cinta. Oh, demi para malaikat, kali ini Alec akan menangis. Wajah Magnus semakin dekat, semakin mendekat padanya, ditangkupnya pipi Magnus, dan Magnus pun menjadi lebih dekat lagi. “Aku mencintaimu,” bisik Magnus pada bibir Alec sebelum menciumnya.
Alec terbangun dengan mata basah oleh air matanya yang tak berhenti mengalir. Dadanya terasa sesak, tak lama ia pun terisak dengan kepedihan yang amat sangat. Mimpi, itu semua ternyata memang hanya mimpi. Tak mungkin Magnus memaafkannya, tak mungkin Magnus mengundang dan menciumnya. Tapi Alec tahu bahwa Magnus memang mencintainya.
“Aku mencintaimu, Magnus.” Alec berkata pada udara kosong, berharap angin akan menghembuskan kata-kata tersebut pada Magnus. Cintanya yang hilang. Alec meremas dadanya, sakit di dadanya terasa membakar. Apapun akan Alec lakukan untuk mendapatkan kembali cinta Magnus. Alec akan mengesampingkan keegoisannya, Alec tidak akan lagi mengubah Magnus. Cinta, seperti yang baru disadarinya, adalah penerimaan total akan diri pasanganmu sesungguhnya.

—fin—



Fanfic ini dibuat untuk mengikuti kontes #TMIndoSpreadTheLove ( @tmindo )
Ratih Febiyanti ( @ratih_febiyanti )

Rabu, 05 Februari 2014

My Love, My Life


“Oooo tidak... Ooooo tidak... Tidak, tidak... Awas bokongmu Henry!” Teriak William Herondale memperingatkan Henry Branwell yang akan duduk disalah satu kursi ruang makan.
‘Sraakkk!!’ Bunyi sesuatu yang terduduki oleh Henry. “Aarrgghh!! Ada iblis yang menyerang!” Henry segera bangkit dari kursi ketika merasakan tusukan ditubuh bagian belakangnya.
“Oowww bagus! Satu-satunya iblis diruangan ini adalah Iblis Bokong yang telah menghancurkan bunga-bunga cantik yang tak berdosa ini.” Will meratapi bunga mawar yang telah hancur ditangannya.
“Kenapa bisa ada bunga ditempat dudukku?” tanya Henry dengan bingungnya.
“Pertanyaan yang benar adalah, kemana matamu saat kau akan menduduki rangkaian bunga mawar yang telah lebih dulu menempati bangku itu?! Ayolah, yang benar saja Henry, dimana lagi aku akan mendapatkan bunga segar untuk malam ini?” keluh Will sambil mengacak-acak rambut hitamnya.
“Ada apa dengan malam ini?” tanya Henry tanpa rasa bersalah telah menghancurkan bunga-bunga cantik tak berdosa.
Will memelototkan mata birunya tak percaya. “Kau bahkan tak tahu hari apa ini kan Henry?”
Henry diam, berpikir.... “Tentu saja aku tahu” Henry tersenyum bangga. “Ini hari Jumat!” Henry merentangkan tangannya dan tersenyum lebar. “Lalu ada apa dengan hari Jumat?” Henry tidak mengerti apa spesialnya hari Jumat, dan ia mengerutkan dahi.
“Ughh Henry..” seperti seseorang yang kalah main judi, Will putus harapan akan kecerdasan Henry. “Begini Henry, hari ini adalah hari para suami,,seperti kita,,” Will menunjuk dirinya dan Henry berulang kali, “untuk menyenangkan hati istri-istri kita.” Jeda sejenak, “karena hari ini adalah 14 Februari atau para wanita menyebutnya hari Valentine.” Dengan perlahan Will menjelaskan. “Wanita-wanita ini menuntut bunga dari para pasangan mereka. Dan untuk menunjukkan besarnya rasa cinta mereka, seorang gentleman harus memenuhi tuntutan wanitanya.” Will menarik napasnya dan menatap Henry waspada. “Apa kau sudah paham?”
Henry hanya mengerjapkan matanya, hingga kemudian dia berkata, “yahh, kurang lebihnya aku paham.”
“Baiklah kalau begitu, sebaiknya aku keluar dan memburu mawar lainnya.” Will bergegas mengambil jaket yang tadi ia sampirkan di meja. “Aku tidak mau yang terbaik diambil oleh pemburu lainnya. Kau ikut bersamaku, Henry?” ketika menoleh, Will tidak mendapati siapapun.
   o0o
Charlotte Branwell sedang berkeliling memeriksa institut, diluar senja baru saja turun, warna oranye lembut menembus kaca menerangi lorong, memberikan kesan hangat dan nyaman.
“Aww!” terdengar suara dari arah kamar Tessa.
“Tessa? Kaukah itu?” tanya Charlotte.
“Charlotte? Bisakah kau membantuku?” sahut Tessa dari dalam kamar.
Charlotte memasuki kamar Tessa. Tessa sedang berusaha memasangkan penjepit rambut untuk menata rambutnya dengan kepangan dan gelungan. Charlotte meraih penjepit itu dan membantu Tessa memasangkannya. “Kau akan pergi?” tanya Charlotte melihat gaun yang dipakai oleh Tessa.
“Ya, Will mengajakku pergi keluar malam ini.” Tessa berbinar dengan kebahagiaan. Semua wanita sudah seharusnya mendapatkan kebahagiaan, kata Charlotte dalam hati. Charlotte sendiri amat bahagia, hingga perasaan itu membuncah setiap waktunya.
“Tessa, sayang. Apakah kau sudah siap?” panggil Will dari bawah tangga.
“Nah, sudah selesai.” Charlotte menepuk tatanan rambut Tessa, memastikan semua tertahan ditempatnya.
Charlotte membantu Tessa berdiri. “Terima kasih, Charlotte,” kata Tessa sambil menggenggam tangan Charlotte. Charlotte mengantar Tessa keluar kamar. Charlotte melihat Will yang tatapannya terpaku pada Tessa saat mereka menuruni tangga. Begitu pun Tessa, dengan malu-malu mencuri pandang kearah Will disetiap anak tangga yang berhasil ia turuni – dengan bantuan Charlotte tentunya.
Ketika sampai di anak tangga terakhir, tatapan keduanya saling terpaku, lama sekali. Charlotte berdeham, mematahkan paku tersebut. “Apa yang ada dibalik punggungmu, Will?” tanya Charlotte, lebih untuk menggoda Will, karena Charlotte tahu bahwa Will membawa rangkaian bunga yang besar.
“Ahh, maaf Lottie tapi bunga-bunga ini sudah ada yang memiliki. Aku sudah menyarankan Henry untuk membelikanmu bunga, tapi Ia tiba-tiba menghilang begitu saja.” Will meraih tangan Tessa, dan mengecupnya. “Sayang, mereka milikmu, begitu pula hatiku.”
Tessa menerima rangkaian tersebut, merangkulkan tangan satunya ke lengan Will, tanpa melepas pandangan dari wajah Will. “Terima kasih, Will,” Tessa mengecup pipi Will.
“Baiklah, baiklah,” sela Charlotte. “Pergilah kalian berdua, bersenang-senanglah.” Charlotte menggiring mereka berdua kearah pintu. Charlotte masih berdiri didepan pintu sambil tersenyum hingga bayangan mereka tak terlihat lagi.
   o0o
“Henry, kau di dalam?” Charlotte melongokkan kepalanya ke dalam laboratorium Henry. Tidak ada salahnya berhati-hati, karena Henry sering kali membuat benda-benda meledak disekitarnya.
“Ya, sayang, aku disini,” tiba-tiba Henry muncul dihadapan Charlotte dengan wajah dan celemek lab-nya yang tercoreng-moreng oleh jelaga, oli, dan entah partikel apa pun itu.
“Sudah waktunya makan malam, ayo bersihkan wajahmu.” Charlotte menghapus noda di pipi Henry.
“Kau sungguh tepat waktu, sayang,” ujar Henry dengan bersemangatnya. “Hadiah untukmu baru saja kuselesaikan.” Henry memberikan sebuah benda kepada Charlotte.
Charlotte menerima benda tersebut. Bentuknya seperti tongkat sepanjang 20cm, ujung satunya menyerupai kelopak bunga dengan batu suluh sihir ditengahnya. “Ah, terima kasih, Henry.” jawab Charlotte tak yakin. “Tapi kalau boleh aku tahu, benda apa ini?
“Ini adalah bunga untukmu di hari Valentine,” jelas Henry dengan perasaan gembira yang menari-nari dimatanya.
Sebersit pengertian tampak dari senyum Charlotte, “terima kasih, Henry. Akan kutaruh di kotak perhiasanku.” Charlotte akan menjaganya seperti harta berharga, karena memang begitulah, Henry jarang memberikannya hadiah.
“Tidak Charlotte,” sanggah Henry dengan tegasnya. “Kau tidak akan menaruhnya, tapi kau akan menggunakannya.”
Charlotte makin tak mengerti, “benda ini bisa digunakan?”
“Tentu saja, Lottie. Ini adalah senjata, aku menamakannya ‘Bunga Berduri’. Nama yang hebat kan? Aku terinspirasi oleh kejadian yang kualami pagi ini.” Dengan berseri-seri Henry menjelaskan fungsi ‘Bunga Berduri’ tersebut. “Lihatlah, bila kau tekan tombol yang ini, maka tongkat ini akan memanjang dan bisa kau gunakan untuk memukul tulang kering, perut dan kepala iblis. Tombol yang ini untuk mengeluarkan mata pisau dari ujung tongkat. Tombol dekat kelopak bunga ini adalah pelontar, yang akan melontarkan kelopak-kelopak ini ke arah musuh, seperti shuriken. Dan suluh sihir ini mempunyai fungsinya yang seperti biasa.”
Senyum Henry perlahan pudar, digenggamnya tangan Charlotte. “Dengar Lottie, kehilanganmu adalah duka terbesarku. Segala upaya akan kulakukan agar kau tetap disisiku. Senjata ini akan menjagamu. William berkata bahwa hari ini para istri menuntut suami mereka untuk menunjukkan besarnya rasa cinta terhadap istrinya. Besarnya cintaku padamu adalah hidupku, Lottie, kaulah nyawaku. Tanpamu aku akan mati.”
Charlotte berurai air mata, Henry tidak pernah berkata seperti ini sebelumnya. Charlotte tidak pernah tahu bahwa ia begitu dicintai dengan sangat dalam oleh suaminya sendiri. “Ya, Henry, aku juga mencintaimu. Kau pun hidupku.”

—fin—


Fanfic ini dibuat untuk mengikuti kontes #TMIndoSpreadTheLove ( @tmindo )
Ratih Febiyanti ( @ratih_febiyanti )