Selasa, 11 Februari 2014

Rose In The Shrub



Simon duduk termenung di salah satu kursi tanpa punggung yang berbaris di konter dapur apartemennya. Suatu hari, hanya tinggal kau dan aku. Dia teringat dengan perkataan Magnus tersebut. Perkataan yang ditujukan padanya saat memiliki tanda Cain, dan itu tidak mengurangi fakta bahwa kini, ia adalah makhluk abadi.
Dia terjebak dalam usia mudanya, tidak akan menua, sedangkan waktu akan terus berjalan bahkan tanpanya. Lalu bagaimana dengan Becky, kakak yang sudah seperti ibu baginya. Becky akan menua, memiliki keluarga—suami, anak-anak dan banyak cucu mungkin. Oh ya, Paman Simon akan menjaga kalian semua. Pikiran itu menghadirkan senyum diujung bibirnya.
Ketika memikirkan ibunya, Simon kembali menjadi murung. Apa yang dapat kulakukan untukmu, Ma. Ibunya adalah makhluk yang rapuh, tiba-tiba Simon menyadarinya. Ketika Ayahnya tiada, tanpa memedulikan kedua anaknya, Ibunya tenggelam dalam kehilangannya sendiri. Sedangkan untuk Simon, ibunya memilih untuk menganggapnya makhluk jahat yang telah membunuh Simon-nya.
Simon telah mati di mata ibunya. Simon pernah dikuburkan di pemakaman Yahudi. Jadi apa salahnya kalau membiarkan ibunya tetap mengira dia telah mati. Tapi bagaimana pun, wanita itu adalah ibunya. Dan Simon, tetaplah Simon, anaknya, walaupun kini Simon abadi.
“Nah ini dia, Simon.” Simon menarik diri dari kegelapan jiwanya, berpaling pada jiwa dan daya hidup yang begitu terang. Isabelle, begitu memukau dengan rambutnya yang digelung dan ditahan dengan sumpit. Bahkan bila rambut sutra hitam itu di mohawk dengan skinny-head, Simon akan tetap mengganggapnya memukau. Karena bagaimana pun wujud fisiknya, Izzy adalah Izzy, seorang petarung, yang tidak akan membiarkan apa pun atau siapa pun, menyakiti dirinya dan orang-orang yang disayanginya. Izzy bagaikan mawar yang berduri, dibalik duri yang merupakan pertahanannya, tersimpan hati yang tulus dan penyayang.
Isabelle muncul di depan pintu apartemennya dengan membawa bungkusan yang berisi bahan-bahan makanan. Izzy berkata bahwa dia ingin memasak, dan karena hanya Simon yang bersedia memakan sup-nya dulu saat pertama mereka bertemu—Izzy ingin membuatkan sesuatu yang istimewa untuknya. Simon tersenyum saat mendengarnya, karena Simon tahu bahwa itu hanyalah alasan Izzy untuk menemuinya. Simon sudah tidak memakan makanan fana lagi, dan Izzy juga seharusnya tahu akan hal itu.
Alasan apa pun yang membawa Izzy ke apartemennya, Simon akan bersyukur untuk hal tersebut. Apa pun untuk mengalihkan pikiran kelamnya. Becky pergi ke rumah ibu mereka, setelah memahami keadaan Simon sebagai vampir. Becky akan mencoba menjelaskan pada ibu mereka, bahwa Simon masih hidup. Entah bagaimana caranya, Becky meyakinkan Simon bahwa Mama akan dapat menerimanya kembali. Bagaimana kakaknya bisa seyakin itu? Simon sendiri meragukan kemungkinan tersebut. Bukan Becky yang melihat ketakutakan murni di mata ibu mereka. Bukan Becky yang ingin dibunuh karena dianggap sebagai monster.
“Jadi, kau akan memakannya atau tidak?!” Simon kembali menyeret pikirannya pada masa kini. Di hadapannya, tersaji sesuatu yang mirip dengan lahar gunung berapi. Begitu merah, begitu kental dan—
“Apa ini Iz?” Simon memandang Izzy, dan sekali lagi terpukau. Gadis itu memakai sweater merah yang membiarkan satu bahunya terbuka, dengan garis leher yang terpampang karena rambutnya yang digelung ke atas. Simon merasa, lapar—
“Ini Chili Con Carne khas Meksiko,” Izzy mengangkat salah satu bahunya yang terbuka. Dan itu menyebabkan garis leher sweaternya semakin merosot. Simon melakukan gerakan yang mirip dengan menelan ludah. Mereka hanya berdua di apartemen ini. Sejak Becky memutuskan untuk tinggal dengan Simon, sepertinya Jordan membuat sarang cintanya dengan Maia di tempat lain. Mereka berdua tidak pernah terlihat muncul di apartemen ini.
“Simon,” tiba-tiba Izzy tersenyum menggoda. “Kau akan memakan makanan itu, atau akan memakanku...” Izzy membungkukkan badannya dan menaruh kedua tangannya di konter, berhadapan dengan Simon. Sajian yang sungguh menggoda.
Cepat-cepat Simon menunduk dan menyendokkan cabai apa pun itu ke dalam mulutnya. Dan Simon tersedak—bisakah itu terjadi? Seorang vampir tersedak makanan? Tenggorokan Simon terasa terbakar. “Simon...” Izzy memanggilnya dengan ragu. Ketika api itu terus turun hingga ke perut, Simon membungkuk dan memegangi perutnya.
“Oh! Simon!” Izzy berteriak, ada ketakutan dalam suaranya. Terdengar langkah panik mengitari konter dan berhenti tepat disampingnya. Simon merasakan tangan halus yang gemetar menyentuh bahunya. “Simon...” suara itu begitu lirih, halus berbisik, seakan Simon akan menghilang bila suara itu meninggi.
Dengan ketangkasan hewan pemangsa, Simon meraih tengkuk Isabelle. Sekejap, Simon melihat kecemasan dan rasa takut pada wajah cantik Isabelle, sebelum digantikan dengan ekspresi terkejut. Simon tidak memberi waktu untuk emosi-emosi lainnya, ia harus mencium Isabelle sekarang—
Mereka tenggelam dalam ciuman panas yang membakar mulut dan lidah mereka. Ada keputusasaan di dalamnya, dan perasaan-perasaan lain yang menyesakkan dadanya. Simon merasa bahwa Isabelle adalah cahayanya, jangkarnya didunia ini, miliknya—dan ciuman itu pun terputus.
“Beraninya kau!” Izzy memukul dadanya dan berdiri tegak. Simon tidak mampu memahami apa yang baru saja terjadi, dia hanya mampu menatap Isabelle yang terengah akibat ciuman mereka. “Apa yang kau lakukan tadi itu tidak lucu!” Izzy berteriak marah dan mengepalkan kedua tangannya seakan ingin memukul Simon dan menjatuhkannya layaknya seorang pemburu. Kedua tangan itu terangkat tapi bukan untuk menyakiti Simon, tangan itu melingkupi wajah Isabelle yang telah basah dengan air mata. “Ku kira kau mati—“ suara Izzy teredam oleh air mata dan tangannya.
Dengan refleks, Simon membuai Izzy dalam pelukannya. “Maafkan aku Isabelle,” Simon berbisik di puncak kepala Isabelle. “Aku tidak bermaksud untuk berpura-pura mati—sungguh,” Simon membelai rambut Izzy dengan sayang. “Kau tahu kan kalau aku ini memang sudah mati.” Simon merasakan sikutan tajam di rusuk kanannya. “Yeah, maaf bukan itu maksudku, tapi masakanmu memang bisa membunuhku, lagi.”
Isabelle menjatuhkan tangannya dan mengangkat wajahnya, menatap mata coklat Simon, senyum menghias wajah itu dengan humor dan kejenakaan. “Hmm, yeah, aku rasa itu memang terlalu pedas,” Isabelle menghapus sisa air matanya, entah kenapa bila berada di dekat Simon, Izzy mengalami kesulitan untuk mengendalikan emosinya. Dia baru sadar bahwa rasa terbakar yang dirasakannya saat berciuman tadi adalah rasa masakannya. Isabelle mengerutkan dahi dan menjilat bibirnya. Baiklah, ternyata aku tidak perlu menggunakan satu botol cabai bubuk dan tabasco, lain kali akan kubuat setengah botol untuk masing-masingnya.
Isabelle mengangkat pandangannya, dan melihat tatapan Simon yang terpaku pada bibirnya. Dan dia pun tersenyum. Siapa bilang aku yang harus mengatakannya Clary, lihatlah, aku akan membuat Simon mengatakannya padaku. “Jadi, untuk apa ciuman tadi, Simon?” Isabelle berusaha menunjukkan wajah tegas. Berusaha untuk tidak peduli dengan jawaban yang akan diberikan Simon padanya.
Simon hanya terdiam. Apa tadi yang ditanyakan oleh Isabelle? Entah kenapa, rasanya pikirannya pergi, jauh ke dasar hatinya. Ada sesuatu yang terjadi di sana, hingga dia tak mampu lagi berpikir.
“Kenapa kau menciumku, Simon?”Izzy kembali menjadi dirinya saat pertama kali mereka bertemu, pemburu tangguh yang tidak membutuhkan siapa pun untuk menjaganya. Izzy melipat tangannya di dada, menunggu jawaban Simon.
Simon menjauh selangkah dari Izzy, memberikan jarak. “Aku hanya ingin saja menciummu.”
“Ugghhh!” Izzy mengayunkan lengannya ke atas, memutar bola matanya dan berbalik—berjalan menjauh memunggunggi Simon. “Baiklah, aku menyerah, seharusnya aku lebih mendengarkanmu, Clary. Pria dungu ini tidak akan lebih dulu mengatakan bahwa dia mencintaiku.” Izzy berbisik menggerutu dengan frustasi, satu tangan ditaruh di perut rampingnya menopang siku tangan lainnya yang dia angkat agar bisa menggigiti ibu jari tangan tersebut.
Simon bahagia, senyum lebar memenuhi wajahnya, perasaan itu meluap dan dengan penuh suka cita Simon berenang di dalamnya. Itulah rasa yang dari tadi tidak dapat dipahaminya. Hatinya telah berbisik pada Simon bahwa Izzy datang dengan membawa serta cinta untuknya. Namun otak Simon tak mampu mencernanya. Bagaimana bisa—
“Isabelle...” Tiba-tiba, Simon sudah ada dihadapannya. Tak heran karena dia adalah vampir, Simon bisa bergerak dengan cepat. Isabelle menurunkan lengannya, dan bertekad, dengan menelan harga dirinya. “Simon—“ Izzy tidak dapat melanjutkan kalimatnya, jari Simon diletakkan di bibirnya, mencegahnya untuk berbicara.
Dengan lembut, jari Simon membelai bibir bawah Izzy. “Apa benar kau mencintaiku, Isabelle.”
Izzy membelalak terkejut. “Da.. dari mana kau... a.. apa yang...” Izzy menjawab dengan terbata-bata rona merah menjalari pipinya. Setelah menelan ludah dan menarik diri dari sentuhan Simon, Izzy menemukan kembali suaranya. “Kenapa kau berpikiran seperti itu.” Izzy terkejut mendapati suaranya yang tenang. Jantungnya berdetak dengan cepat, sehingga dia merasa pusing, dan merasakan getaran yang akan mengoyahkan lututnya.
“Aku vampir,” setelah diam sejenak, Simon melanjutkan, “aku mendengar bisikanmu tadi.” Seperti lilin yang dipadamkan, sesuatu yang tadi bergelora dalam tatapan Simon padam, kemudian dia menundukkan kepalanya.
Oh, Clary, kau benar. Sebentar lagi dia akan menyerah, dia membutuhkanku untuk mengatakannya. Dan aku membutuhkan dirinya, tidak akan kubiarkan dia menyerah begitu mudah.
“Simon, pandang aku,” Isabelle merapatkan jarak di antara mereka, dengan lembut diraihnya rahang Simon yang bergemeretak. “Kumohon Simon, pandang aku.” Ketika Simon mengangkat pandangannya, mata coklat itu bertanya padanya ‘apakah kau tidak menginginkanku?’. Isabelle pernah merasakannya juga, jauh sebelum Robert Lightwood mengurung diri di Idris, ketika ia melihat ibunya menangis. Papa, apakah kau sudah tidak menginginkan kami lagi?
Seketika itu juga Izzy ingin merengkuh Simon dalam pelukannya, dan tidak akan pernah melepaskan pelukan itu. Ya, nanti, sekarang dia harus meyakinkan mata coklat itu. Izzy menyentuh kedua pipi Simon, menahannya dengan mantap. Izzy memandang ke dalam mata Simon, berusaha untuk menarik jauh rasa tidak diinginkan dari dalam diri Simon. “Ya, aku mencintaimu, Simon Lewis. Kau, Fana aneh yang mau memakan sup-ku, yang rela mati untuk sahabatmu, vampir bodoh yang tidak mau meminum darah segar, kutu buku yang menceritakan kisah Luke Skywalker padaku. Aku membutuhkanmu, Simon, mungkin sejak pertama kali kita bertemu, tapi aku terlalu takut untuk mencari tahu.”
Simon tercekat, dia menangkup kedua tangan Izzy di pipinya. “Tapi... “ Simon mencari-cari dalam tatapan Izzy, disana tidak ada setitik pun keraguan. Simon menurunkan tangan Izzy dan menggenggamnya, dia ingin mempercayai ini, ingin merengkuh Izzy selamanya. Simon pun mengaku, “kau seperti mawar Izzy, sangat indah, sedangkan aku hanyalah sebuah semak belukar.”
Izzy mengeratkan genggamannya. “Kalau memang begitu, akan akan menjadi mawar yang tumbuh ditengah-tengah semak belukar itu, Simon. Semak itu akan menjaga mawar dari tangan-tangan yang ingin memetiknya, bukankah begitu? Maka kau harus menjaga hatiku, Simon, karena aku menyerahkannya padamu.”
Simon memejamkan matanya, menaruh hati Izzy dengan aman disebelah hatinya. “Isabelle, ya, aku akan menjaganya,” Simon kembali menatap Izzy, mawarnya, Simon tahu bahwa Izzy akan mampu menjaga dirinya sendiri dengan duri-duri yang mengancam setiap orang yang ingin menyakiti dirinya. Tapi Izzy mempercayakan hal itu padanya. “Aku mencintaimu Izzy. Kau adalah cahayaku, jangan biarkan aku sendirian dalam kegelapan.”
“Tidak akan, Simon. Kau milikku. Aku tidak akan membiarkan apa pun membuatmu menghilang dariku.”
Mata Isabelle yang sehitam arang itu bersinar dengan cinta, tanpa batas, dan cinta itu untuknya. Seorang anak yang disebut monster oleh ibunya sendiri. Dengan lembut disentuhnya pipi Isabelle, mawarnya yang berharga. “Ya, Isabelle, ya.” Tolong jangan biarkan kegelapan itu menenggelamkanku. Simon memeluk Izzy dengan erat—jangkarnya, menelusuri pipi Isabelle dengan ciuman, ke sudut mulutnya, dan akhirnya bibir mereka pun bertemu. Ciuman dengan rasa cabai bubuk dan tabasco.


—fin—



Fanfic ini dibuat untuk mengikuti kontes #TMIndoSpreadTheLove ( @tmindo )
Ratih Febiyanti ( @ratih_febiyanti )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar