Kamis, 06 Februari 2014

Valentine Dream



Alec berdiri di depan pintu apartemen Magnus, ragu untuk mengetuk pintu tersebut. Alec menerima pesan dari Magnus melalui telepon genggamnya. Magnus memintanya datang ke apartemen, Alec dengan segera – lebih tepatnya berlari – menuju apartemen. Kini Ia tidak yakin akan disambut dengan baik oleh Magnus. Alec tidak pernah bertemu lagi dengan Magnus semenjak pertengkaran terakhir yang menyebabkan putusnya hubungan mereka. Alec masih teringat dengan sakit hati dan kekecewaan yang tampak di mata kucing Magnus.
Sejak saat itu Alec pun hancur, satu-satunya orang yang menunjukkan siapa diri Alec sebenarnya, seseorang yang menerima jati diri Alec seutuhnya, seseorang yang sungguh-sungguh mencintainya. Dan seseorang itu menjauh darinya untuk selamanya. Padahal sesungguhnya Alec hanya ingin bersama Magnus selama hidupnya, tapi yang ia perbuat malah menyebabkan jurang dalam diantara mereka. Alec sadar bahwa menghilangkan keabadian Magnus adalah demi keuntungannya sendiri. Alec tidak dapat meninggalkan kehidupan nephilimnya, ingin menua dan mati sebagai seorang pemburu bayangan. Magnus menerima diri Alec apa adanya, dan sebagai balasannya Alec ingin mengubah jati diri Magnus dari immortal menjadi mortal. Kesalahan Alec tidak termaafkan, ia dibutakan oleh keegoisan cintanya pada Magnus.
Tiba-tiba pintu apartemen itu terbuka dengan sendirinya. Alec takut melangkah masuk, takut untuk bertemu Magnus, takut untuk hancur yang kesekian kalinya. Dari dalam apartment, mengalun lagu lembut dari alunan orkestra. Dari luar pintu, Alec melihat pantulan cahaya api yang menari-nari diseputar dinding dalam apartemen.
“Masuklah, Alec.” Alec bergidik mendengar suara berat Magnus yang sangat dirindukannya. Suara itu seperti merengkuhnya, membuainya dan – Alec sungguh berharap – memaafkannya.
Alec menempatkan satu kaki di depan kaki lainnya. Perlahan memasuki apartemen itu, seketika itu juga ia dilanda perasaan rindu. Sudah berapa lama ia tidak kemari? Alec merasa sudah berpuluh-puluh tahun merindukan apartemen ini, rumah Magnus, tempat dimana hatinya ia taruh.
Magnus tidak terlihat dimanapun, Alec memandang seluruh ruang depan, mungkinkah Magnus di kamar? Alec tidak sempat mencari Magnus di kamar, Ia tertegun di perapian yang tidak ada disana sebelumnya. Di depan perapian terhampar kain sutra beralaskan karpet bulu dengan bantal-bantal bulu angsa diatasnya. Terdapat hidangan lengkap di bawah kaki Alec yang berdiri terpesona oleh semua yang ada di hadapannya.
“Aku tahu, aku tahu. Aku memang hebat, Warlock terhebat yang pernah ada. Simpan rasa kagummu untuk nanti Alec, ini belum ada apa-apanya, kau takkan pernah bisa berhenti mengagumiku.” Magnus muncul dari dalam kamar. Dengan otomatis kepala Alec berputar kearah suara tersebut. Suara itu menghipnotisnya, tapi apa yang Alec lihat, membiusnya.
Magnus berdiri ditengah pintu kamar, memakai kemeja sebiru langit sehabis hujan. Lengan kemeja tersebut digulung sampai siku, Magnus membawa botol anggur di tangan satunya dan dua gelas anggur di tangannya yang satunya lagi. Tidak ada glitter dimana pun, tidak ada warna eksentrik, tidak ada gel rambut. Rambut Magnus dengan lembut jatuh di dahi dan tengkuknya, membuat Alec gatal ingin menyusupkan tangannya kesana. Magnus tampak lebih muda dengan penampilannya yang sekarang. Senyum miring menghias wajah tampannya. Alec hampir berhenti bernapas, senyum itu bagaikan surga yang disajikan dihadapannya. Suara itu, senyum itu, mata itu, wajah itu, Alec merasa dia akan sanggup melahap diri Magnus selamanya.
Magnus mengulurkan tangannya kepada Alec. Alec mengerjap, bukankah tadi Magnus membawa botol dan gelas? Ahh benar, Magnus dan sihirnya. Alec menatap tangan yang terulur itu.
“Ayolah, Alec.” Magnus tersenyum. “Aku janji tanganku tidak akan mengigitmu, hanya akan ada belaian untukmu.” Magnus tersenyum menggoda. Tanpa ampun wajah Alec pun memerah, tiba-tiba suhu ruangan bertambah panas. Dengan segera Alec menyambar uluran tangan Magnus. Magnus menggenggam tangan Alec.
Alec tak kuasa menahan serbuan berbagai rasa, air mata hampir saja tak dapat dibendungnya. Alec mengeratkan genggamannya. Magnus menuntunnya ke depan perapian. Magnus melepaskan jaket Alec dengan perlahan, jaket itu pun terbang menuju gantungan di dekat pintu. Ketika akan melepaskan syal biru yang merupakan hadiah dari Magnus. Dengan lembut Magnus mengelus bahan syal tersebut. Alec pun bergetar, sentuhan Magnus seolah menembus syal dan Alec merasakan sentuhan itu jauh di dalam dirinya.
Hatinya mendengkur seperti seekor anak kucing. Dengkuran tersebut sampai terdengar di telinganya. Tidak, tunggu, Alec memang mendengar suara dengkuran. Chairman Meow, berputar-putar di kaki Alec, mengusap-usapkan dirinya disana. “Sang Chairman Meow merindukanmu, Alec,” Magnus menunduk untuk menggendong anak kucing itu. Dalam hati Alec bertanya, ‘bagaimana dengan dirimu, Magnus, rindukah kau padaku?’ Alec harus menelan pertanyaan tersebut. Alec tidak berani bertanya, membuka mulut pun dia tak sanggup. Alec masih tidak mempercayai semua ini. Benarkah Magnus telah memaafkannya? Alec ingat dengan jelas penolakan Magnus, matanya yang berkilat dengan rasa sakit hati.
Chairman Meow bergelung dengan nyaman di lengan Magnus. Alec iri dengan makhluk itu, Alec ingin dialah yang berada dalam kungkungan lengan itu, aman dan nyaman.
“Duduklah bersamaku, Alec. Aku menyiapkan ini semua untukmu. Bagaimana menurutmu?” Magnus bertanya padanya, seulas senyum tersungging di bibirnya. Alec terpaku pada bibir menggiurkan itu, teringat akan ciuman-ciuman mereka.
“Aku masih menunggu pendapatmu, Alec.” Magnus kini menyengir padanya, tangan Magnus membelai bulu Chairman Meow.
Apa yang dikatakan Magnus? Ah ya, pendapatnya. Tenggorokan Alec serasa sekering gurun pasir, ketika dia menjawab, suaranya parau seperti burung yang kesakitan, Alec harus berdeham untuk menjernihkan suaranya. “Ini… Ini bagus.” Alec bingung harus menjawab apa. Pikirannya penuh dengan berbagai macam hal tentang Magnus, tentang pertengkaran mereka, tentang kenangan manis mereka, tentang perasaan bersalahnya pada Magnus.
“Bagus?” Magnus menaikkan sebelah alis hitamnya. “Oh, tidak, Alec, aku mengharapkan lebih dari bagus. Kau tegang dan sangat diam hari ini. Ayolah, ini adalah hari kasih sayang. Tunjukkanlah rasa sayangmu padaku, Alec. Kemarilah.” Magnus menarik Alec, dengan sekali sentakan, Alec berada dalam pangkuan Magnus, menggantikan tempat Chairman Meow sebelumnya. Syukurlah, ia tak tahan melihat kucing itu berbaring terus-terusan dipangkuan Magnus, dan kini kucing itu pun tak terlihat di manapun.
Alec menarik napasnya, menghidu dalam-dalam aroma tubuh Magnus. Magnus memeluknya, melingkupinya dan memandangnya penuh cinta. Oh, demi para malaikat, kali ini Alec akan menangis. Wajah Magnus semakin dekat, semakin mendekat padanya, ditangkupnya pipi Magnus, dan Magnus pun menjadi lebih dekat lagi. “Aku mencintaimu,” bisik Magnus pada bibir Alec sebelum menciumnya.
Alec terbangun dengan mata basah oleh air matanya yang tak berhenti mengalir. Dadanya terasa sesak, tak lama ia pun terisak dengan kepedihan yang amat sangat. Mimpi, itu semua ternyata memang hanya mimpi. Tak mungkin Magnus memaafkannya, tak mungkin Magnus mengundang dan menciumnya. Tapi Alec tahu bahwa Magnus memang mencintainya.
“Aku mencintaimu, Magnus.” Alec berkata pada udara kosong, berharap angin akan menghembuskan kata-kata tersebut pada Magnus. Cintanya yang hilang. Alec meremas dadanya, sakit di dadanya terasa membakar. Apapun akan Alec lakukan untuk mendapatkan kembali cinta Magnus. Alec akan mengesampingkan keegoisannya, Alec tidak akan lagi mengubah Magnus. Cinta, seperti yang baru disadarinya, adalah penerimaan total akan diri pasanganmu sesungguhnya.

—fin—



Fanfic ini dibuat untuk mengikuti kontes #TMIndoSpreadTheLove ( @tmindo )
Ratih Febiyanti ( @ratih_febiyanti )

2 komentar: