Alec berdiri di depan
pintu apartemen Magnus, ragu untuk mengetuk pintu tersebut. Alec menerima pesan
dari Magnus melalui telepon genggamnya. Magnus memintanya datang ke apartemen,
Alec dengan segera – lebih tepatnya berlari – menuju apartemen. Kini Ia tidak
yakin akan disambut dengan baik oleh Magnus. Alec tidak pernah bertemu lagi
dengan Magnus semenjak pertengkaran terakhir yang menyebabkan putusnya hubungan
mereka. Alec masih teringat dengan sakit hati dan kekecewaan yang tampak di
mata kucing Magnus.
Sejak saat itu Alec pun
hancur, satu-satunya orang yang menunjukkan siapa diri Alec sebenarnya, seseorang
yang menerima jati diri Alec seutuhnya, seseorang yang sungguh-sungguh
mencintainya. Dan seseorang itu menjauh darinya untuk selamanya. Padahal
sesungguhnya Alec hanya ingin bersama Magnus selama hidupnya, tapi yang ia
perbuat malah menyebabkan jurang dalam diantara mereka. Alec sadar bahwa
menghilangkan keabadian Magnus adalah demi keuntungannya sendiri. Alec tidak
dapat meninggalkan kehidupan nephilimnya, ingin menua dan mati sebagai seorang
pemburu bayangan. Magnus menerima diri Alec apa adanya, dan sebagai balasannya
Alec ingin mengubah jati diri Magnus dari immortal menjadi mortal. Kesalahan
Alec tidak termaafkan, ia dibutakan oleh keegoisan cintanya pada Magnus.
Tiba-tiba pintu apartemen
itu terbuka dengan sendirinya. Alec takut melangkah masuk, takut untuk bertemu
Magnus, takut untuk hancur yang kesekian kalinya. Dari dalam apartment,
mengalun lagu lembut dari alunan orkestra. Dari luar pintu, Alec melihat
pantulan cahaya api yang menari-nari diseputar dinding dalam apartemen.
“Masuklah, Alec.” Alec
bergidik mendengar suara berat Magnus yang sangat dirindukannya. Suara itu
seperti merengkuhnya, membuainya dan – Alec sungguh berharap – memaafkannya.
Alec menempatkan satu
kaki di depan kaki lainnya. Perlahan memasuki apartemen itu, seketika itu juga
ia dilanda perasaan rindu. Sudah berapa lama ia tidak kemari? Alec merasa sudah
berpuluh-puluh tahun merindukan apartemen ini, rumah Magnus, tempat dimana
hatinya ia taruh.
Magnus tidak terlihat
dimanapun, Alec memandang seluruh ruang depan, mungkinkah Magnus di kamar? Alec
tidak sempat mencari Magnus di kamar, Ia tertegun di perapian yang tidak ada
disana sebelumnya. Di depan perapian terhampar kain sutra beralaskan karpet
bulu dengan bantal-bantal bulu angsa diatasnya. Terdapat hidangan lengkap di
bawah kaki Alec yang berdiri terpesona oleh semua yang ada di hadapannya.
“Aku tahu, aku tahu.
Aku memang hebat, Warlock terhebat
yang pernah ada. Simpan rasa kagummu untuk nanti Alec, ini belum ada
apa-apanya, kau takkan pernah bisa berhenti mengagumiku.” Magnus muncul dari
dalam kamar. Dengan otomatis kepala Alec berputar kearah suara tersebut. Suara itu
menghipnotisnya, tapi apa yang Alec lihat, membiusnya.
Magnus berdiri ditengah
pintu kamar, memakai kemeja sebiru langit sehabis hujan. Lengan kemeja tersebut
digulung sampai siku, Magnus membawa botol anggur di tangan satunya dan dua
gelas anggur di tangannya yang satunya lagi. Tidak ada glitter dimana pun,
tidak ada warna eksentrik, tidak ada gel rambut. Rambut Magnus dengan lembut
jatuh di dahi dan tengkuknya, membuat Alec gatal ingin menyusupkan tangannya
kesana. Magnus tampak lebih muda dengan penampilannya yang sekarang. Senyum
miring menghias wajah tampannya. Alec hampir berhenti bernapas, senyum itu
bagaikan surga yang disajikan dihadapannya. Suara itu, senyum itu, mata itu,
wajah itu, Alec merasa dia akan sanggup melahap diri Magnus selamanya.
Magnus mengulurkan
tangannya kepada Alec. Alec mengerjap, bukankah tadi Magnus membawa botol dan
gelas? Ahh benar, Magnus dan sihirnya. Alec menatap tangan yang terulur itu.
“Ayolah, Alec.” Magnus
tersenyum. “Aku janji tanganku tidak akan mengigitmu, hanya akan ada belaian
untukmu.” Magnus tersenyum menggoda. Tanpa ampun wajah Alec pun memerah,
tiba-tiba suhu ruangan bertambah panas. Dengan segera Alec menyambar uluran
tangan Magnus. Magnus menggenggam tangan Alec.
Alec tak kuasa menahan
serbuan berbagai rasa, air mata hampir saja tak dapat dibendungnya. Alec
mengeratkan genggamannya. Magnus menuntunnya ke depan perapian. Magnus
melepaskan jaket Alec dengan perlahan, jaket itu pun terbang menuju gantungan di
dekat pintu. Ketika akan melepaskan syal biru yang merupakan hadiah dari Magnus.
Dengan lembut Magnus mengelus bahan syal tersebut. Alec pun bergetar, sentuhan
Magnus seolah menembus syal dan Alec merasakan sentuhan itu jauh di dalam
dirinya.
Hatinya mendengkur
seperti seekor anak kucing. Dengkuran tersebut sampai terdengar di telinganya. Tidak,
tunggu, Alec memang mendengar suara dengkuran. Chairman Meow, berputar-putar di
kaki Alec, mengusap-usapkan dirinya disana. “Sang Chairman Meow merindukanmu,
Alec,” Magnus menunduk untuk menggendong anak kucing itu. Dalam hati Alec
bertanya, ‘bagaimana dengan dirimu, Magnus, rindukah kau padaku?’ Alec harus
menelan pertanyaan tersebut. Alec tidak berani bertanya, membuka mulut pun dia
tak sanggup. Alec masih tidak mempercayai semua ini. Benarkah Magnus telah
memaafkannya? Alec ingat dengan jelas penolakan Magnus, matanya yang berkilat
dengan rasa sakit hati.
Chairman Meow bergelung
dengan nyaman di lengan Magnus. Alec iri dengan makhluk itu, Alec ingin dialah
yang berada dalam kungkungan lengan itu, aman dan nyaman.
“Duduklah bersamaku,
Alec. Aku menyiapkan ini semua untukmu. Bagaimana menurutmu?” Magnus bertanya
padanya, seulas senyum tersungging di bibirnya. Alec terpaku pada bibir
menggiurkan itu, teringat akan ciuman-ciuman mereka.
“Aku masih menunggu
pendapatmu, Alec.” Magnus kini menyengir padanya, tangan Magnus membelai bulu
Chairman Meow.
Apa yang dikatakan
Magnus? Ah ya, pendapatnya. Tenggorokan Alec serasa sekering gurun pasir,
ketika dia menjawab, suaranya parau seperti burung yang kesakitan, Alec harus
berdeham untuk menjernihkan suaranya. “Ini… Ini bagus.” Alec bingung harus menjawab
apa. Pikirannya penuh dengan berbagai macam hal tentang Magnus, tentang
pertengkaran mereka, tentang kenangan manis mereka, tentang perasaan
bersalahnya pada Magnus.
“Bagus?” Magnus
menaikkan sebelah alis hitamnya. “Oh, tidak, Alec, aku mengharapkan lebih dari
bagus. Kau tegang dan sangat diam hari ini. Ayolah, ini adalah hari kasih sayang. Tunjukkanlah rasa sayangmu padaku, Alec. Kemarilah.” Magnus menarik Alec,
dengan sekali sentakan, Alec berada dalam pangkuan Magnus, menggantikan tempat
Chairman Meow sebelumnya. Syukurlah, ia tak tahan melihat kucing itu berbaring terus-terusan
dipangkuan Magnus, dan kini kucing itu pun tak terlihat di manapun.
Alec menarik napasnya,
menghidu dalam-dalam aroma tubuh Magnus. Magnus memeluknya, melingkupinya dan
memandangnya penuh cinta. Oh, demi para malaikat, kali ini Alec akan menangis. Wajah
Magnus semakin dekat, semakin mendekat padanya, ditangkupnya pipi Magnus, dan
Magnus pun menjadi lebih dekat lagi. “Aku mencintaimu,” bisik Magnus pada bibir
Alec sebelum menciumnya.
Alec terbangun dengan
mata basah oleh air matanya yang tak berhenti mengalir. Dadanya terasa sesak,
tak lama ia pun terisak dengan kepedihan yang amat sangat. Mimpi, itu semua
ternyata memang hanya mimpi. Tak mungkin Magnus memaafkannya, tak mungkin
Magnus mengundang dan menciumnya. Tapi Alec tahu bahwa Magnus memang
mencintainya.
“Aku mencintaimu, Magnus.”
Alec berkata pada udara kosong, berharap angin akan menghembuskan kata-kata
tersebut pada Magnus. Cintanya yang hilang. Alec meremas dadanya, sakit di
dadanya terasa membakar. Apapun akan Alec lakukan untuk mendapatkan kembali
cinta Magnus. Alec akan mengesampingkan keegoisannya, Alec tidak akan lagi
mengubah Magnus. Cinta, seperti yang baru disadarinya, adalah penerimaan total
akan diri pasanganmu sesungguhnya.
—fin—
Fanfic ini dibuat untuk
mengikuti kontes #TMIndoSpreadTheLove ( @tmindo )
Ratih Febiyanti ( @ratih_febiyanti )
Kyaaaa, another story yang manis dan pahit sekaligus.
BalasHapus*puk puk puk Alec
makasih udah baca :')
Hapus